Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 24 Maret 2013

Kuburan yang Ternoda


Kuburan yang Ternoda 

Kuburan adalah tempat singgah awal kita nanti setelah masa tinggal kita di dunia berakhir dan semasa hidup kita diperintahkan untuk mengunjunginya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,

Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah kubur. Namun sekarang, hendaknya kalian menziarahinya.” (HR.al-Hakim, no.1394).

Namun, sungguh menyedihkan tatkala kita menyaksikan pemandangan di sebagian kuburan kaum muslimin di Indonesia dan di luar negeri sana. Mereka tidak sekadar berziarah, namun kenyataannya adalah menodainya. Di antara bentuk penodaan itu adalah,

1. Dibangun masjid di atasnya, dan dan dijadikannya kuburan sebagai masjid-masjid.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,
Ingatlah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dulu menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid-masjid, ingatlah jangan menjadikan kuburan sebagai masjid, karena sesungguhnya aku melarang kalian dari hal tersebut.” (HR.Muslim, no.532).

Yang dipahami dari kalimat “menjadikan kuburan sebagai masjid” adalah tiga pengertian,

Pertama: Shalat di atas makam, dengan pengertian sujud di atasnya.
Kedua: Sujud dengan menghadap ke arahnya dan menjadikannya kiblat shalat dan doa.
Ketiga: Mendirikan masjid di atas makam dan tujuan mengerjakan shalat di dalamnya. (Tahdzirul Masajid min Ittikhadzil Quburi Masajid, al-Albani).

2. Shalat di atasnya.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,
Laksanakanlah sebagian shalat kalian di rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya kuburan.” (HR. al-Bukhari)

Imam al-Baghawi Rahimahullah (wafat 510 H), setelah membawakan hadits di atas menyimpulkan, “Hadits ini menunjukkan bahwa kuburan bukan tempat untuk shalat.” (Syarh as-Sunnah (II/411)). Hal ini selaras dengan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam, beliau Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,
Bumi seluruhnya adalah masjid (tempat untuk shalat), kecuali kuburan dan kamar mandi.” (HR. Ahmad).

Ibnu Qudamah Rahimahullah (wafat 620 H) menjelaskan bahwa bumi secara keseluruhan bisa menjadi tempat shalat kecuali tempat-tempat yang terlarang untuk shalat di dalamnya, seperti kuburan. (al-Mughni,II/472).

3. Diusap-usap untuk ngalap berkah.

Sesungguhnya perbuatan seperti ini tidak disyariatkan bahkan merupakan wasilah yang mengantarkan kepada syirik. Sebagian kalangan menganggap bahwa hal seperti ini kebolehannya dikiaskan dengan menyentuh Hajar Aswad dan menciumnya. Namun, sesungguhnya kias ini tidak berdasar sama sekali; karena menyentuh Hajar Aswad dan menciumnya bukan untuk bertabarruk (mencari barakah), akan tetapi untuk mengagungkan Allah Ta’ala dan ittiba’ (mengikuti) Rasul  Shalallahu ‘alaihi Wasallam.

Karena itulah Umar bin al-Khathtab Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau adalah sebuah batu yang tidak memberi manfaat dan mudharat, seandainya aku tidak melihat Rasulullah  Shalallahu ‘alaihi Wasallam menciummu, tentu aku tidak sudi menciummu.” (HR. al-Bukhari).

Berkata Imam al-Munawi as-Syafi’i, “Sabda Nabi  Shalallahu ‘alaihi Wasallam, “Aku pernah melarang kalian dari ziaroh kubur.

Yakni karena kalian baru saja meninggalkan kekufuran. Adapun sekarang tatkala telah hilang sisa-sisa jahiliyah dan telah kokoh Islam dan jadilah kalian orang-orang yang yakin dan takwa.

Sabda Nabi  Shalallahu ‘alaihi Wasallam, “Maka ziarahilah kuburan

Yaitu dengan syarat tidak disertai dengan mengusap kuburan atau mencium kuburan atau sujud di atasnya atau yang semisalnya, karena hal itu -sebagaimana perkataan as-Subkiy- adalah bid’ah yang mungkar, hanyalah orang-orang jahil (bodoh) yang melakukannya.” (Faidhul Qadir 5/55, At-Taisir bi syarh al-Jami’ as-Shaghir 2/439).

4. Diterangi dengan lampu.

Hal ini haram, di antaranya karena hadits Rasulullah  Shalallahu ‘alaihi Wasallam dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma beliau berkata,
Rasulullah melaknat para wanita yang menziarahi kuburan dan orang-orang yang menjadikan di atas kuburan-kuburan masjid-masjid dan lampu-lampu.” (HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya, no 3179).

Dan juga karena beberapa alasan,

1). Perbuatan ini bid’ah, tidak dikenal para salaf shalih.

2). Perbuatan ini menyia-nyiakan harta.

3). Perbuatan ini berlebih-lebihan dalam mengagungkan kubur, lebih mirip dengan mengagungkan patung-patung.

4). Perbuatan ini menyerupai orang Majusi yang menyembah api.

Karena itulah Ibnu Hajar al-Haitsami Rahimahullah dalam kitabnya Az-Zawajir ‘an iqtiraf al-Kabair, (1/154) menyatakan, bahwa ini termasuk dosa besar.

5. Diduduki.

Rasulullah  Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,
Janganlah duduk di atas kuburan dan jangan shalat menghadapnya.” (HR.Muslim)

6. Dibangun dan ditulisi nama.

Jabir Radhiyallahu ‘anhu berkata,
Rasulullah  Shalallahu ‘alaihi Wasallam melarang menyemen kuburan, duduk di atasnya serta mendirikan bangunan di atasnya.” (HR.Muslim). Imam at-Tirmidzi Rahimahullah dan yang lainnya meriwayatkan dengan sanad yang shahih dengan tambahan lafazh,
“…dan ditulisi.”

Imam Nawawi Rahimahullah menyatakan, “Imam Syafi’i dan para sahabat mengatakan bahwa termasuk hal yang dibenci adalah menembok kuburan, menulisi nama yang mati atau lainnya, juga membangun di atasnya. Ini tidak ada khilaf di tengah-tengah kita. Dengan mazhab ini pula Maliki, Ahmad, Dawud dan jumhur ulama telah berfatwa.” (al-Majmu’,5/260).

7. Dijadikan sebagai tempat perayaan dan ritual ibadah.

Rasulullah  Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,
Janganlah kalian menjadikan kuburku sebagai ied (tempat perayaan), dan jangan(menjadikan)rumah-rumahmu sebagai kuburan, di manapun kalian berada bershalawatlah kepadaku karena shalawat kalian sampai kepadaku.” (HR.Ahmad 2/367, dishahihkan oleh al-Albani di dalam Ahkam al-Janaiz,280).

8. Ditinggikan dan dibangun kubah.

Dari Abu al-Hayyaj al-Asadi Rahimahullah, ia berkata, Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata,
Maukah kamu saya utus atas sebuah tugas yang dulu saya diutus Nabi  Shalallahu ‘alaihi Wasallam untuk tugas itu?! (Yaitu) janganlah kamu biarkan satu patung kecuali telah kamu hancurkan dan jangan pula ada kuburan yang tinggi melainkan telah kamu ratakan.” (HR. Muslim, 969).

Demikianlah 8 perkara mengenai hal-hal yang akan menodai kuburan yang bisa kami sebutkan dalam tulisan ini. Semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada mereka-saudara kita kaum muslimin yang telah dan masih saja melakukan hal-hal di atas. Dan, semoga pula Allah Ta’ala melindungi kita dari terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan tersebut. Amin. Wallahu a’lam bish Shawab. (Redaksi)



[Sumber: Diringkas dari “Imathat al-Litsam wa Kabh al-Auham”, karya: Mamduh Farhan al-Bukhari. Edisi Indonesia: “Kuburan Agung Menyingkap Fenomena Ketergantungan Kepada Para Wali”, Darul Haq, Jakarta dengan gubahan dan tambahan dari sumber yang lainnya]

Menjadi Mukmin yang Kuat


 Menjadi Mukmin yang Kuat 


 “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari mukmin yang lemah, namun pada masing-masingnya memiliki kebaikan. Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Apabila ada sesuatu yang menimpamu janganlah berkata, ‘Seandainya dahulu aku melakukannya niscaya akan begini dan begitu.’Akan tetapi katakanlah, ‘Itulah ketetapan Allah dan terserah Allah apa yang dia inginkan maka tentu Dia kerjakan.’ Dikarenakan ucapan ‘seandainya’ itu akan membuka celah perbuatan setan.” (HR. Muslim, no. 6945)

Hadits di atas adalah hadits yang sangat agung, siapa yang mampu menggapai sesuatu yang terkandung dalam hadits ini, sesungguhnya ia telah mendapat kebaikan agama dan dunianya secara bersamaan.

→ Penjelasan Hadits

Maksud perkataan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah

Kuat di sini adalah kemauan keras dan tabiat jiwa dalam perkara-perkara akhirat. Orang-orang yang memiliki sifat ini akan selalu bersemangat melaksanakan shalat, puasa, berdzikir kepada Allah ta’ala, dan ibadah-ibadah lainnya.

Orang-orang ini pula yang senantiasa bersegera melangkahkan kaki untuk berjihad melawan musuh-musuh Islam. Mereka juga memiliki tekad yang kuat dalam memerintahkan yang makruf dan melarang yang munkar, selalu bersabar dalam menghadapi ujian yang menimpa dan mampu melewati segala kesulitan dengan mudah karena Allah ta’ala.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa makna kuat di sini adalah keimanan, dan bukan tubuh, karena kekuatan tubuh bisa berbahaya bagi manusia, jika digunakan untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Kekuatan tubuh tidak terpuji atau tercela. Jika digunakan untuk hal yang bermanfaat di dunia atau akhirat, maka dia menjadi terpuji. Sebaliknya jika digunakan untuk berbuat maksiat, maka dia menjadi tercela.

Mukmin yang kuat imannya lebih baik dan lebih dicintai Allah Ta’ala daripada mukmin yang lemah. Karena keimanan yang kuat akan mendorong untuk  melaksanakan sesuatu yang diwajibkan Allah Ta’ala serta melaksanakan yang sunnah. Sedangkan mukmin yang lemah iman tidak mudah melaksanakan apa yang diwajibkan Allah Ta’ala kepada-nya dan yang dilarang-Nya.

Sabda Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam, “namun pada masing-masingnya memiliki kebaikan

Maksudnya adalah mukmin yang kuat dan lemah sama-sama memiliki kebaikan, karena keduanya sama-sama masih memiliki keimanan. Dan mukmin yang lemah iman tentu lebih baik dari orang kafir.

Sabda Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam, “Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu

Ini adalah wasiat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya, yaitu bersungguh-sungguh dalam mencari dan mendapatkan manfaat. Sesungguhnya perbuatan manusia itu terbagi menjadi tiga,

Perbuatan yang bermanfaat bagi manusia,

Perbuatan yang mengandung bahaya/madharat,

Perbuatan yang tidak ada manfaat dan madharatnya sama sekali.

Manusia yang berakal adalah yang menerima wasiat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, mereka bersungguh-sungguh dalam mencari hal yang bermanfaat bagi dirinya. Sedangkan mayoritas manusia menghabiskan waktu untuk hal yang tidak bermanfaat, bahkan mengandung bahaya bagi diri dan agama mereka. Oleh karena itu layak untuk dikatakan pada mereka, “Kalian tidak melaksanakan wasiat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, mungkin karena kebodohan atau karena meremehkannya

Terhadap sesuatu yang bermanfaat, hendaknya kita bersemangat melaksanakannya, baik itu manfaat agama maupun keduniaan

Sabda Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam, “mohonlah pertolongan kepada Allah

Sebuah petuah yang datang setelah sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam, “Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu”, Karena mencari dan mengambil sesuatu yang bermanfaat bisa jadi akan menipu, yaitu dengan menjadikan diri sendiri sebagai sandaran dan melupakan pertolongan Allah Ta’ala, sebagaimana terjadi pada kebanyakan manusia, yakni berbangga diri dan melupakan pertolongan Allah Ta’ala. Bersungguh-sungguhlah dalam hal yang bermanfaat, dan jangan lupa meminta pertolongan Allah Ta’ala meskipun hal tersebut adalah mudah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Hendaklah salah seorang dari kalian senantiasa meminta kebutuhannya kepada Tuhan, sampaipun ketika meminta garam, sampaipun meminta tali sandalnya ketika putus.” (HR. at-Tirmidzi, no. 3604).

Mintalah selalu pertolongan Allah Ta’ala dalam segala hal yang bermanfaat bahkan dalam ibadah sekalipun seperti ketika wudhu, shalat dan lainnya. Karena tanpa pertolongan-Nya kita tidak akan mampu melakukannya.

Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan sabdanya, “dan jangan bersikap lemah.”

Teruslah beramal dan jangan lemah atau mundur, atau berkata, “Sungguh selesainya masih lama” atau “banyak sekali pekerjaan ini, dan tak ada habisnya”. Ketika sejak awal hati sudah meyakini adanya sesuatu yang bermanfaat, dan telah meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala serta telah memulai melakukannya, maka janganlah lemah.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan, “Apabila sesuatu menimpamu janganlah berkata, ‘Seandainya dahulu aku melakukannya niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi katakanlah, ‘Itulah ketetapan Allah dan terserah Allah apa yang dia inginkan maka tentu Dia kerjakan.’”

Setelah melakukan hal-hal yang telah disebutkan di atas, namun hasilnya ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka janganlah mengatakan, ‘Seandainya dahulu aku melakukannya niscaya akan begini dan begitu.’ Karena semua ini di luar kehendak manusia, kita hanya melaksanakan apa yang diperintahkan, Allahlah yang berkuasa terhadap segala urusan. Allah Ta’ala berfirman, artinya, “Dan  Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21).

Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam melarang perkataan, ‘Seandainya dahulu aku melakukannya niscaya akan begini dan begitu.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberikan ganti dari larangan tersebut dengan kalimat, ‘Itulah ketetapan Allah dan terserah  Allah apa yang dia inginkan maka tentu Dia kerjakan.’ Demikianlah salah satu keindahan Islam, ketika melarang sesuatu, akan diberikan ganti dari larangan tersebut. Hal ini sebagaimana terdapat dalam banyak ayat al-Qur’an, di antara firman-Nya Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. al-Baqarah: 104).

Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menutup hadits ini dengan sabdanya, “Dikarenakan ucapan ‘seandainya’ itu akan membuka celah perbuatan setan.”

Ini merupakan hikmah dilarang mengucapkan “seandainya” untuk perkara-perkara yang telah ditetapkan Allah. Karena, kalimat tersebut akan membuka celah perbuatan setan, menimbulkan was-was, kesedihan, penyesalan dan duka yang mendalam. Semua perkara telah ditetapkan, tidak mungkin akan berubah sesuatu yang sudah terjadi. Semuanya telah ditulis di Lauhul Mahfudz lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi. Oleh karena itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umatnya untuk berkata,
Itulah ketetapan Allah dan terserah Allah apa yang dia inginkan maka tentu Dia kerjakan.”

Ini sesuai dengan firman-Nya Ta’ala, artinya, “Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (QS. Huud: 107).

Namun perlu diketahui bahwa ketika Allah Ta’ala menakdirkan sesuatu, pasti ada hikmah yang mengiringinya baik diketahui ataupun tidak. Allah Ta’ala berfirman, artinya, “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Insan: 30).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa kehendak Allah Ta’ala diiringi dengan ilmu dan hikmah.

Demikianlah penjelasan singkat tentang hadits di atas, semoga kita dapat mengamalkan hadits ini dan hati menjadi tenang. Wallahu a’lam.

[Sumber: Diterjemahkan secara bebas dari Syarah Riyadhus Shalihin oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dari http://www.ibnothaimeen.com dengan beberapa tambahan dari sumber yang lain]

Poligami Penyebab Perceraian?


Poligami Penyebab Perceraian?

Poligami menyebabkan angka perceraian meningkat. Inilah salah satu ungkapan yang sering kita dengar di masyarakat, dan kebanyakan yang mendengung-dengungkan “slogan” ini adalah orang-orang yang menentang poligami. Lalu apakah perkataan ini benar? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memahami hakikat poligami, hukum dan manfaatnya serta penyebab perceraian.

Hakikat Poligami
1. Poligami telah dilakukan oleh orang-orang jahiliyah, namun di masa itu poligami masih mengandung manfaat dan mudharat. Kala itu seseorang bisa menikah dengan berapa saja wanita yang dia inginkan, dikarenakan banyaknya jumlah wanita dan sedikitnya jumlah laki-laki. Penyebab jumlah mereka (laki-laki) berkurang adalah karena peperangan yang terjadi di kala itu. Mereka melakukan poligami untuk memperbanyak keturunan dan untuk maslahat-maslahat yang lain. Dan poligami ini terus berlangsung hingga datang Islam, sampai-sampai ada sebagian orang yang masuk Islam, sementara ia masih memiliki 10 istri.
Akan tetapi, disamping manfaat-manfaat poligami yang banyak ini, poligami yang dilakukan dengan tatacara masyarakat jahiliyah mengandung banyak kezhaliman, yang menyebabkan terampasnya kehormatan wanita, dan tidak terpenuhinya kebanyakan hak-hak mereka. Dan juga menyebabkan wanita tidak bernilai di dalam pergaulan mereka. Oleh karena itu Allah mensyariatkan kepada kita poligami dengan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang bisa mendatangkan maslahat, dan menyelisihi poligami masyarakat jahiliyah dalam kezhalimannya dan ke-mudharatannya terhadap kaum wanita.
2. Pintu poligami tidaklah dibuka untuk seseorang hingga ia berhak melakukannya, sebagaimana monogami hendaknya tidak dilakukan oleh seseorang kecuali setelah ia mampu untuk memberi nafkah dan yang lainnya. Demikian juga menikah dengan perempuan yang kedua dan seterusnya, hendaknya dilakukan setelah benar-benar yakin bahwasanya ia akan mampu menunaikan hak-hak pernikahan poligami ini.
3. Kemudian sesungguhnya Allah tidak mewajibkan poligami, dan juga tidak mengharuskan wanita untuk dipoligami meskipun ia tidak rela. Akan tetapi Allah menjadikannya kembali kepada pilihan wanita, jika ia ridha menikah dengan laki-laki yang sudah beristri, maka silahkan ia menerima, dan jika tidak, ia pun boleh menolak pernikahan ini.

Hukum asal poligami
Poligami dari sisi dasar hukum disyariatkan, ia disyariatkan oleh Allah alam kitab-Nya melalui lisan nabi-Nya. Poligami adalah mubah/boleh secara mutlak, tanpa melihat pada permasalahan apakah hukum asalnya seseorang itu harus poligami atau monogami?!! Kedua pendapat dalam masalah ini sepakat bahwa poligami adalah boleh bagi laki-laki, dan tidak tercela bagi seorang laki-laki menikahi lebih dari satu wanita.
Dalil-dalil pembolehannya,
Firman Allah, artinya, “…maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat….”(QS. an-Nisa’: 3)
Dan firman-Nya, artinya, “…dan (diharamkan bagimu) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau….” (QS. an-Nisa’: 23)
Sisi pengambilan hukumnya adalah dengan menggunakan logika terbalik, maksudnya jika kita tidak boleh menggabungkan (menghimpunkan) dua orang perempuan bersaudara menjadi istri-istri kita, berarti kita boleh menggabungkan selain mereka.
Syarat-syarat Poligami
Dan perlu diketahui bahwa poligami memiliki beberapa syarat:

1. Adil, berdasarkan firman Allah, artinya, “….Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, …” (QS. an-Nisa’: 3)
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa adil adalah syarat dibolehkannya poligami. Jika seorang suami khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya jika melakukan poligami, ketika itu poligami tidak diperbolehkan ba- ginya. Dan yang dimaksud dengan adil yang dituntut dari seorang yang akan melakukan poligami adalah adil dalam memberikan nafkah, pakaian, pembagian bermalam dan lain-lain yang termasuk perkara-perkara material yang mampu dilakukan oleh manusia.
Adapun adil dalam hal cinta, maka seseorang tidak dibebani dengannya, dan tidak dituntut untuk merealisasikannya, karena ia tidak akan mampu melakukannya. Dan ini adalah makna firman Allah, artinya, “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, …” (QS. an-Nisa’: 129)

2. Mampu memberikan nafkah kepada para istrinya, dalil dari syarat ini adalah firman Allah, artinya, “Dan hendaklah orang-orang yang tidak mampu menikah menjaga kesucian (diri)-nya, sampai Allah memampukan mereka dengan kurnia-Nya…”(QS. an-Nur: 33)
Allah dalam ayat yang mulia ini memerintahkan seseorang yang sudah mampu untuk nikah (jima’) namun belum mendapatkan kesempatan melakukannya dikarenakan halangan apapun, agar menjaga diri (kesuciannya), dan di antara halangan seseorang untuk menikah adalah tidak memiliki biaya-biaya untuk menikah, seperti mahar dan kemampuan menafkahi istrinya.(al-Mufashshal fi Ahkamil Mar’ah, 6/286)

Hikmah disyari’atkannya Poligami
1. Poligami adalah salah satu sebab untuk memperbanyak jumlah umat ini, dan sudah diketahui bersama bahwa banyaknya jumlah umat tidak mungkin tercapai kecuali dengan nikah, dan jumlah keturunan yang dihasilkan dengan jalan poligami tentu lebih besar dibandingkan dengan jalan monogami.
Dan sudah diketahui oleh orang-orang yang berakal bahwa banyaknya jumlah penduduk adalah sebab kuatnya suatu bangsa/negara, dan banyaknya sumber daya manusia di negara adalah salah satu sebab naiknya tingkat perekonomian –jika para pemimpinnya mampu mengatur urusan-urusan negara dan memanfaatkan sumber daya alam sebagaimana mestinya-. Dan tinggalkanlah ocehan-ocehan orang yang mengira bahwa pertumbuhan jumlah penduduk mendatangkan kekhawatiran (bahaya) pada sumber daya alam, dan bahwasanya ia tidak cukup bagi manusia. Karena sesungguhnya Allah Yang Mahabijaksana yang telah mensyari’atkan poligami, telah menanggung rizki hamba-hamba-Nya, dan telah menjadikan di bumi segala sesuatu yang mencukupi mereka dan bahkan lebih. Dan jika terjadi kekurangan, maka itu disebabkan karena kezhaliman pribadi, birokrasi maupun pemerintah dan buruknya pengaturan.

2. Terbukti dari sensus yang ada bahwa jumlah wanita lebih banyak dibandingkan jumlah laki-laki, jika setiap satu orang laki-laki menikahi satu orang wanita saja, maka itu berarti ada banyak wanita yang akan tetap dalam keadaan tanpa suami. Dan ini membawa dampak buruk bagi dirinya dan masyarakatnya.
Adapun dampak buruk yang akan menimpanya adalah ia tidak akan mendapatkan suami yang memenuhi kebutuhannya, membentenginya dari syahwat yang haram dan yang dengan sebabnya ia bisa dikaruniai anak-anak.
Sedangkan dampak buruk yang akan menimpa masyarakatnya adalah, bahwa perempuan yang hidup tanpa suami ini, terkadang ia akan menyimpang dari jalan yang lurus dan menempuh jalan yang menyimpang dan penuh kehinaan, sehingga ia jatuh ke lembah perzinaan dan pelacuran. Hal ini menyebabkan tersebarnya zina, penyakit-penyakit seks menular yang mematikan, seperti AIDS dan yang lainnya yang hingga sekarang belum ada obatnya, tercerai berainya keluarga, terlahirnya anak-anak yang tidak jelas statusnya, tidak diketahui siapa bapaknya.

3. Kaum lelaki lebih “berpeluang” mendapatkan kecelakaan yang terkadang menyebabkan kematian, karena mereka bekerja di medan-medan yang berat dan penuh resiko. Oleh karena itu, kemungkinan kematian mereka lebih besar dibandingkan kaum wanita. Dan inilah penyebab tingginya prosentase jumlah kaum wanita dibandingkan laki-laki. Jalan keluar dari permasalahan ini adalah poligami.

4. Sebagian lelaki ada yang memiliki syahwat yang kuat, dan tidak cukup baginya satu orang istri. Seandainya pintu poligami ditutup, dan dikatakan kepada orang tersebut, “Tidak boleh bagimu kecuali satu orang istri.” Niscaya akan terjadi kesulitan, dan mungkin saja ia akan menyalurkan syahwatnya dengan jalan yang haram.

5. Poligami bukan hanya ada dalam agama Islam, namun ia telah ada di umat-umat terdahulu. Seperti Nabi Sulaiman memiliki 99 istri, dan ada seseorang yang masuk Islam di zaman Nabi sementara ia memiliki 10 istri, lalu Nabi memerintahkannya untuk menahan 4 istrinya dan menceraikan sisanya.

6. Terkadang seorang istri mandul, atau tidak mampu memenuhi kebutuhan biologis suami karena sakit dan yang lainnya. Maka hal ini tidak bisa diberikan jalan keluarnya, kecuali dengan memberikan kesempatan kepada suami untuk berpoligami.

Dan masih banyak lagi hikmah dan manfaat poligami yang tidak mungkin disebutkan dalam kesempatan ini, karena terbatasnya tempat.
Poligami Penyebab Perceraian
Adapun penyebab perceraian, maka sangat banyak mulai dari selingkuh, ketidakharmonisan, KDRT sampai karena persoalan ekonomi. Dan yang unik adalah 70% yang mengajukan perceraian adalah istri, dengan alasan suami tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Dan bagi orang-orang yang mengatakan bahwa poligami menyebabkan banyak perceraian, maka mana data yang menunjukkan hal tersebut! Dan lebih banyak mana perceraian terjadi, pada orang yang poligami atau yang monogami?

Dari keterangan di atas bisa kita simpulkan bahwasanya poligami bukanlah penyebab perceraian. Jika terjadi perceraian yang dilakukan oleh orang-orang yang berpoligami, maka sebabnya tidak lepas dari beberapa hal di antaranya adalah tidak pahamnya mereka terhadap hakikat poligami yang sebenarnya, atau tidak terpenuhinya syarat-syarat poligami pada mereka, seperti ketidakmampuan menafkahi istri-istri mereka atau ketidakadilannya terhadap istri-istri mereka, sehingga terjadi konflik di antara mereka. Jadi terjadinya praktik-praktik yang salah dari sebagian orang yang melakukan poligami tidak berarti poligami itu salah, sebagaimana terjadinya beberapa kejahatan yang dilakukan oleh sebagian orang Islam bukan berarti Islam mengajarkan kejahatan. Jadi kesimpulannya perkataan di atas tidaklah benar. Wallahu A’lam . 
[Sumber: Dinukil dan diterjemahkan dari artikel yang berjudul Ta’adud as-Zaujat dari http://www.mktaba.org/vb/showthread.php?t=13491 dan http://aljame3.net/ib/index.php?showtopic=10874

Berlindung dari Godaan Setan


Berlindung dari Godaan Setan

Setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Hal ini telah digariskan oleh al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman, artinya, “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6).

Allah ta’ala juga berfirman, artinya, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku:Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. al-Isra: 53).

Setan selalu berusaha untuk menjadikan manusia menjadi pengikutnya menuju neraka, selalu meniupkan rasa was-was, senantiasa mengganggu dan menyesatkan manusia. Allah ta’ala berfirman mengisahkan perkataan iblis, artinya, “Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS. al-A’raf: 16-17).

Oleh karena itu kita harus senantiasa waspada terhadap tipu daya setan dan kita diperintahkan untuk senantiasa berlindung kepada Allah ta’ala dari gangguan dan godaan setan la’natullah alaih. Dalam syariat meminta perlindungan dari godaan setan dikenal dengan isti’adzah. Berikut penjelasan tentang isti’adzah.

∟Makna Isti’adzah

Masyarakat lebih sering menyebut kalimat isti’adzah dengan ta’awudz. Isti’adzah adalah membaca salah satu dari lafazh-lafazh isti’adzah atau ta’awwudz tatkala hendak membaca al-Quran atau dalam keadaan tertentu yang seseorang berhajat kepada perlindungan Allah ta’ala dari godaan setan.

Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi rahimahullah berkata bahwa makna isti’adzah adalah, “Aku memohon perlindungan dan penjagaan kepada Allah ta’ala Tuhanku dari setan yang terkutuk agar tidak mengacaukan bacaan al-Qur’anku atau menyesatkanku sehingga aku binasa dan sengsara.”

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Isti’adzah adalah kembali kepada Allah ta’ala dan mendekati-Nya agar dijauhkan dari keburukan segala macam keburukan

Lafal Isti’adzah

Terdapat beberapa lafal isti’adzah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya;
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.

Atau dengan lafal,
Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dari godaan setan yang terkutuk, dari kegilaan dan kesombongannya, dan dari bisikan-bisikannya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad).

Atau dengan lafal lain,
Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, dari kegilaan dan kesombongannya, dan dari bisikan-bisikannya.” (lafal-lafal di atas bisa dilihat di: Tafsirul Qur’an al-Azhim oleh Ibnu Katsir v 1/111-113 (Maktabah Syamillah)).

Syariat Isti’adzah

Al-Qur’an memerintahkan kita untuk senantiasa meminta perlindungan kepada Allah ta’ala dari setan. Allahta’ala berfirman, artinya, “Dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.’” (QS. al-Mukminun: 97-98).

Allah ta’ala juga berfirman, artinya, “Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlin- dungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat: 36).

Dalam beberapa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga dijelaskan waktu-waktu kita disyariatkan untuk beristi’adzah atau berta’awudz di antaranya yaitu,

1. Hendak Membaca al-Qur’an

Allah ta’ala berfirman, artinya, “Apabila kamu membaca al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS. an-Nahl: 98).

2. Mengusir Gangguan Setan Saat Shalat

Suatu ketika salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bernama Utsman bin Abil Ashradhiyallahu anhu datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya setan telah menghalangi antara aku dan shalatku serta bacaanku, mengacaukan aku,”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 
Itu adalah setan yang bernama Khinzib, jika engkau merasakannya, maka berlindunglah kepada Allah dari setan tersebut dan meludahlah ke kiri 3 kali.”

Lalu Utsman berkata, “Maka aku melakukan hal tersebut, sehingga Allah menghilangkan hal tersebut dariku.” (HR. Muslim, no. 5868).

3.  Saat Meredam Amarah

Dalam sebuah hadits disebutkan, 
Suatu ketika ada dua orang saling mencaci di hadapan Nabi shalallahu alaihi wasalam dan kami sedang duduk di samping beliau shalallahu alaihi wasalam. Salah seorang di antaranya sedang mencaci temannya dengan sangat marah dan memerah wajahnya. Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda, “Sesungguhnya aku mengetahui satu kalimat yang seandainya dia mengucapkannya, niscaya akan hilang kemarahan yang dirasakannya. Seandainya dia mengatakan, “A’udzu billahi minasy syaithanir rajim” “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk”, (maka akan hilang kemarahan yang dirasakannya)”

Para sahabat berkata kepada orang yang marah, “Apakah engkau tidak mendengar apa yang diucapkan Nabishalallahu alaihi wasalam tadi?” Lelaki yang marah tadi berkata, “Aku tidak gila.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

4. Saat Sedang Bepergian

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata, Jika Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bepergian lalu malam tiba, maka beliau berucap,
Wahai bumi, Rabbku dan Rabbmu adalah Allah. Aku berlindung kepada Allah dari keburukanmu, keburukan sesuatu yang ada di dalammu, keburukan sesuatu yang diciptakan di dalammu, dan keburukan sesuatu yang berjalan di permukaanmu. Aku berlindung kepada-Mu dari singa dan yang hitam, dari ular dan kalajengking, dari penghuni negeri, dan dari bapak dan anaknya.” (HR. Abu Dawud dishahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi).

5. Saat Singgah di Suatu Tempat

Dalam sebuah riwayat disebutkan,

Dari Haulah bintu Hakim berkata, Aku mendengar Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda, “Barangsiapa singgah di suatu tempat kemudian berdoa,

A’udzu bikalimaatillahit Taamati Min Syarri Ma Khalak”

(Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari keburukan sesuatu yang diciptakan)

Maka tidak ada sesuatu pun yang akan membahayakannya sampai dia beranjak pergi dari persinggahannya itu.” (HR.Muslim).

Demikianlah penjelasan tentang isti’adzah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishawab.

[Sumber: Disarikan dari kitab Aisarut Tafasir likalamil ‘Aliyil Kabiir, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairirahimahullah dengan beberapa tambahan dari sumber yang lain]

Bahaya Mengingkari Takdir


Bahaya Mengingkari Takdir

Iman kepada takdir merupakan bagian dari rukun iman. Pengingkaran terhadapnya menunjukkan kerusakan iman seseorang. Adakah orang yang mengingkari dan apa bahaya/akibat dari pengingkaran tersebut?
Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam telah mengabarkan,
Masing-masing umat mempunyai orang-orang Majusi, dan Majusi ummatku adalah orang-orang yang berkata, “Tidak ada takdir”. Bila mereka sakit, janganlah kalian menjenguknya. Bila mereka mati, janganlah kalian hadiri jenazahnya.” (HR. Ahmad, no. 5548, Syaikh al-Albani berkata, “Hadits ini hasan.”).

Teks hadits mengisyaratkan bahwa ada di antara umat beliau Shallallahu 'alahi wasallam yang mengingkari takdir. Dan, pengingkaran tersebut keluar dari perkataan mereka dengan jelas, yaitu, “Tidak ada takdir” yang berasal dari keyakinan mereka. Allahu a’lam. Semoga Allah melindungi kita dari hal tersebut.

Orang-orang yang mengingkari adanya takdir, sungguh berada dalam bahaya. Di antara bahaya yang tengah menimpa mereka yaitu,

1. Tebusan dan taubatnya tidak akan diterima
Diriwayatkan dari Umamah, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam bersabda,
Tiga macam orang yang tidak akan diterima taubat ataupun tebusan mereka, orang yang durhaka, yang suka mengungkit-ngungkit pemberian, dan yang mendustakan takdir.’” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim di dalam as-Sunnah, Syaikh al-Albani berkata, “Hadits ini hasan.”).

2. Tidak akan diterima infaqnya
Diriwayatkan dari Ibnu ad-Dailimi, ia berkata, “Aku mendatangi Ubay bin Ka’ab dan aku katakan kepadanya, ‘Terlintas dalam pikiranku sesuatu tentang masalah takdir. Lalu sampaikanlah suatu perkataan kepadaku mudah-mudahan Allah menghilangkan keraguan dalam hatiku.’ Dia berkata, 
Seandainya Allah mengadzab seluruh penduduk langit dan bumi niscaya dia mengadzab mereka tanpa berbuat dzalim kepada mereka. Dan seandainya Allah merahmati mereka niscaya rahmat-Nya itu lebih baik bagi mereka dari amal-amal mereka. Dan ketahuilah seandainya engkau menginfakkan emas sebesar gunung Uhud di jalan Allah niscaya Allah tidak akan menerima darimu hingga engkau beriman kepada takdir. Dan engkau meyakini bahwasanya apa yang ditakdirkan menimpamu pasti tidak akan meleset darimu. Dan apa yang ditakdirkan meleset darimu niscaya tidak akan menimpamu. Jika engkau mati di atas keyakinan selain keyakinan ini niscaya engkau masuk Neraka.
Ibnu ad-Dailimi berkata, “Lalu akupun mendatangi Abdullah bin Mas’ud dan dia mengatakan hal yang sama. Kemudian aku mendatangi Hudzaifah bin Yaman dan dia juga mengatakan hal yang sama. Lalu aku mendatangi Zaid bin Tsabit dan dia menyampaikan kepadaku dari Nabi Shallallahu 'alahi wasallam perkataan yang sama.” (HR. Abu Dawud, no. 4701).

3. Terancam oleh kecaman keras dan sikap berlepas diri para generasi terbaik ummat ini
Diriwayatkan dari Yahya bin Ya’mar, ia berkata, “Orang yang pertama kali berbicara tentang takdir di Bashrah adalah Ma’bad al-Juhani. Lalu aku pun berangkat bersama Humaid bin Abdurrahman al-Himyari untuk melaksanakan haji dan umrah. Kami pun berkata, ‘Andaikata kita bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam kita akan menanyakan mereka tentang masalah takdir.’ Akhirnya kami pun berkesempatan bertemu dengan Abdullah bin Umar Ibnu Khattab. Dia memasuki masjid lalu aku dan sahabatku mengiringinya, satu di sebelah kanan dan satu di sebelah kiri. Dan aku kira sahabatku menyerahkan pembicaraan kepadaku, lalu akupun berkata, ‘Wahai Abu Abdurrahman, telah muncul di tempat kami orang-orang yang membaca al-Qur’an, menuntut ilmu dan menelitinya. Dia pun menyebutkan keadaan mereka. Mereka meyakini tidak ada takdir dan bahwasanya semua perkara itu terjadi begitu saja’.”
Ibnu Umar berkata,
Jika engkau berjumpa dengan mereka, maka beritahukanlah kepada mereka bahwasanya aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Allah yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan-Nya, seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu menginfakkannya niscaya Allah tidak akan menerima darinya hingga ia beriman kepada takdir baik dan buruk.
Kemudian ia berkata, ‘Telah mengabarkan kepadaku ayahku Umar bin Khaththab (lalu menyebutkan hadits Jibril yang panjang tentang Islam, iman, ihsan, dan tanda-tanda hari kiamat),” (HR. Muslim, kisah ini disebutkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 177).

4. Tidak dapat merasakan manisnya iman dan tidak termasuk golo- ngan ummat Muhammad Shallallahu 'alahi wasallam
Diriwayatkan bahwa ‘Ubadah bin Ash-Shamit,ia berkata kepada anaknya, “Hai anakku, sungguh kamu tidak akan merasakan nikmatnya iman sebelum kamu meyakini bahwa sesuatu yang telah ditakdirkan mengenai dirimu pasti tidak akan meleset, dan sesuatu yang telah ditakdirkan tidak mengenai dirimu pasti tidak akan menimpamu. Aku telah mendengar Rasulullah n bersabda, “Sesungguhnya pertama-tama yang diciptakan Allah adalah Qalam (pena), lalu Allah berfirman kepadanya, “Tulislah!.” Ia menjawab, “Ya Tuhanku! Apa yang hendak kutulis?” Allahlberfirman, “Tulislah takdir segala sesuatu sampai hari kiamat.” Hai anakku! Aku pun telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam bersabda, ”Barangsiapa yang meninggal tidak dalam keyakinan ini, maka ia tidak termasuk umatku.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

5. Masuk ke dalam Neraka
Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam bersabda,
Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla seandainya mengazab penduduk langit dan bumi, tidaklah Dia berbuat Zhalim. Dan seandainya Allah merahmati mereka, maka rahmat-Nya yang diberikan kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka daripada amal-amal mereka. Dan kalaulah seandainya seseorang mempunyai emas sebesar gunung Uhud yang ia infakkan di jalan Allah hingga habis sementara ia tidak beriman kepada takdir baik dan buruk, niscaya ia akan masuk ke dalam Neraka” (HR. ath-Thabrani di dalam Musnad asy-Syamiyyin).
Dalam suatu riwayat milik Ibnu Wahab disebutkan, Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam bersabda,
Barangsiapa tidak beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk, maka Allah akan membakarnya dengan api Neraka.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Wahab di dalam al-Qadar, no.26; Ibnu Abu Ashim di dalam as-Sunnah, no.111; dan al-Ajuri di dalam asy Syari’ah, hal.186.)

Demikianlah pembahasan seputar masalah bahaya mengingkari takdir, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam (

[Sumber: Disarikan dari beberapa sumber]

Pahala Tetap Mengalir di Alam Kubur


Pahala Tetap Mengalir di Alam Kubur

Salah satu anugerah Allah Shubhanahu Wata'aalaa yang besar terhadap hamba-Nya adalah dengan memberikan kepada mereka pintu kebaikan dan kebajikan. Jika seorang hamba melakukan amalan kebaikan dan kebajikan, maka ia mendapat pahala kebaikan di dalam kehidupan dunia, dan juga pahala baginya setelah kematian. Bagi penghuni kubur, amalan mereka telah terputus. Amalan yang telah dilakukan selama hidupnya akan dihisab dan diberi pahala. Sementara ada pula yang mendapatkan taufik di dalam kuburnya karena kebaikan dan pahala terus mengalir kepadanya. Dia sudah tak lagi beramal, namun pahala baginya tidak pernah terhenti, derajatnya diangkat, kebaikannya semakin tumbuh dan pahalanya semakin berlipat ganda, padahal ia telah terbaring di dalam kuburnya. Alangkah bahagianya orang yang demikian itu.

Nabi Shallallahu 'alahi wasallam telah mengabarkan bahwa ada tujuh perkara yang pahalanya akan tetap mengalir kepada manusia di dalam kuburnya setelah ia meninggal. Dari Anas Radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam bersabda,
Ada tujuh hal yang pahalanya  akan tetap mengalir bagi seorang hamba padahal dia sudah terbaring dalam kuburnya setelah wafatnya, Orang yang mengajarkan suatu ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanam kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf atau meninggalkan anak yang memohonkan ampun buatnya setelah dia meninggal.” (HR. al-Bazzar, dinilai hasan oleh syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’)

Berikut beberapa penjelasan mengenai hadits tersebut,
1. Mengajarkan Ilmu, yang dimaksud dengan ilmu adalah, segala ilmu pengetahuan yang bermanfaat yang bisa mengantarkan seseorang mengetahui tentang agama mereka dan mengenalkan Tuhan dan sesembahan mereka, ilmu yang bisa membimbing mereka ke jalan yang lurus, dengan ilmu tersebut ia bisa membedakan antara petunjuk dan kesesatan, kebenaran dan kebatilan, demikian pula, pengetahuan halal dan haram. Dari sini menunjukkan besarnya kedudukan ulama pemberi nasihat serta dai yang ikhlas yang mereka hakikatnya pelita bagi seorang hamba dan tanda simbol ketinggian bagi sebuah negara dan penopang umat dan sumber hikmah, kehidupan mereka adalah sebuah kekayaan dan kematian mereka adalah sebuah bencana. Merekalah yang mengajari orang-orang bodoh, mengingatkan orang-orang yang lalai dan menunjukkan orang-orang yang tersesat. Tidak terbersit pada mereka kejelekan dan tidak takut celaan. Ketika salah satu dari mereka meninggal, ilmunya akan tetap tinggal dan terwariskan di antara manusia. Karangan dan ucapan mereka akan senantiasa beredar. Para ulama tersebut terus mendapat aliran pahala yang berlipat ganda, meskipun mereka berada di dalam kuburnya.

Dahulu orang-orang mengatakan, “Seorang alim meninggal sementara kitabnya masih tetap ada.” Adapun saat ini, suara mereka terekam dalam pita-pita kaset yang berisi pelajaran-pelajaran ilmiah, ceramah dan khutbah yang penuh dengan manfaat. Sehingga manfaat ini akan dirasakan oleh generasi setelahnya yang tidak hidup dan bertemu mereka. Dan orang-orang yang mencetak buku-buku yang penuh manfaat dan menyebarkan karangan-karangan mereka yang penuh faidah serta membagikan kaset-kaset ilmiah dan kaset dakwah, maka bagi mereka pahala yang besar, insyaallah.

2. Mengalirkan sungai, Maksudnya adalah membuat jalan air dari mata air dan sungai lainnya, agar air bisa mengalir menuju tempat manusia dan sawah-sawah mereka. Sehingga, manusia bisa minum dengan puas, tanaman tersirami, binatang ternak pun akan meminum air tersebut. Berapa banyak kebaikan dari amal yang agung ini sebagai bentuk berbuat baik kepada manusia dengan memudahkan mereka mendapatkan air yang mana merupakan komponen terpenting dalam kehidupan. Termasuk di dalamnya adalah memanjangkan pipa ke pemukiman penduduk, serta meletakan sumber air di jalan-jalan dan tempat-tempat yang dibutuhkan.

3. Menggali sumur, penjelasannya sama dengan yang tersebut di atas, dalam hadits disebutkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'alahi wasallam bersabda,
Suatu ketika ada seorang lelaki yang sangat kehausan di sebuah jalan, lalu dia menemukan sumur. Dia turun ke sumur tersebut lalu meminum airnya lalu keluar. Tiba-tiba dia mendapati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah karena kehausan. Berkatalah lelaki tadi, “Anjing ini telah kehausan sebagaimana yang aku rasakan tadi.” Lelaki tersebut kembali turun ke sumur dan mengisi sepatunya dengan air, lalu diminumkan ke anjing tersebut. Maka, Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya. Para sahabat bertanya, “Apakah kita bisa mendapatkan pahala karena binatang? Rasulullah n bersabda, “Ya, berlaku baik pada setiap yang bernyawa itu ada pahala.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

4. Menanam pohon kurma, seperti sudah diketahui bersama, bahwa pohon kurma adalah pohon yang paling utama dan sangat bermanfaat bagi manusia. Siapa yang menanam pohon kurma dan bersedekah dengan buahnya kepada kaum muslimin, maka pahalanya akan terus mengalir setiap kali ada orang yang memakan kurma tersebut, atau memanfaatkanya baik itu manusia atau hewan. Hal ini berlaku pula pada segala jenis pohon selain kurma yang bermanfaat bagi manusia. Penyebutan kurma adalah karena keutamaan dan keistimewaannya.

5. Membangun masjid (tempat yang paling dicintai Allah k), masjid adalah tempat yang diijinkan untuk ditinggikan dan disebut nama-Nya di sana. Jika masjid dibangun, maka akan didirikan shalat di dalamnya, dibacakan al-Qur’an di dalamnya, disebut nama Allah k, disebarkan ilmu dan sebagai tempat berkumpulnya kaum muslimin, serta untuk kepentingan lain yang mengandung maslahat yang besar. Dan untuk orang yang membangunnya ada pahala yang menunggu. Rasulullah n berkata,
Barangsiapa yang membangun masjid karena mengharap wajah Allah, maka Allah akan membangunkan sepertinya di Surga.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

6. Mewariskan al-Qur’an, itu dilakukan dengan mencetak al-Quran atau membeli al-Qur’an kemudian mewakafkannya ke masjid-masjid dan majelis-majelis ilmu yang dengannya kaum muslimin akan memperoleh manfaat. Bagi yang mewakafkannya mendapat pahala yang besar setiap kali mushaf tersebut dibaca, ditadabburi dan diamalkan oleh kaum muslimin.

7. Mendidik anak, dengan memberikan pendidikan yang baik dan bersemangat dalam membesarkan mereka di atas ketakwaan dan kebaikan, sehingga mereka menjadi anak-anak yang baik dan shalih. Anak-anak tersebut akan mendoakan kedua orangtuanya dengan kebaikan dan memohon kepada Allah k agar memberikan kasih sayang dan ampunan-Nya kepada mereka. Hal inilah yang akan menguntungkan orang yang mati didalam kuburnya.

Demikianlah beberapa amalan yang akan tetap mengalirkan pahala meskipun yang mengamalkannya telah meninggal dunia. Wallahu a’lam. (Redaksi)

[Sumber: Diterjemahkan secara bebas dari makalah, Sab’un Yajri Lil Abdi Ajruhuna Wa Huwa Fi Qabrihi Ba’da Mautihi, Syaikh Abdurrazak bin Abdul Muhsin al-Badr, dari situs http://www.al-badr.net]

Tanda-tanda Cinta Nabi


Tanda-tanda Cinta Nabi 

Alhamdulilah Allah telah mengaruniakan kepada kita seorang Nabi dan Rasul Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai rahmat bagi alam semesta. Allah berfirman,
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya; 107).
Beliau adalah seorang Nabi yang sangat kasih sayang.
Pembaca yang budiman…
Bila Anda ditanya, “Cintakah Anda kepada beliau?” “Tentu saja,” inilah jawaban yang tentunya akan Anda sampaikan. Namun, sudah benarkah kecintaan Anda kepada- nya? Inilah pertanyaan yang mudah-mudahan akan terjawab melalui tulisan ini.
Pembaca yang budiman…
Bukti cinta seseorang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memiliki tanda-tanda. Di antara tanda-tanda tersebut yaitu,

Pertama, mengikuti Sunnah dan berpegang teguh dengan petunjuknya.

Allah berfirman, yang artinya,
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).

Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah tatkala menafsirkan ayat ini mengatakan,ayat yang mulia ini merupakan pemutus bagi orang yang mengaku cinta kepada Allah sedang ia berada di luar jalan Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam,  maka sesungguhnya ia seorang pendusta dalam pengakuannya tersebut hingga ia mengikuti syariat Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam dan agamanya baik dalam perkataan maupun perbuatan. Hal ini telah disebutkan dalam hadits Shahih, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami, maka tertolak.” (Muttafaq ‘alaih)

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wata'aalaa berfirman, yang artinya, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku.” (QS. Ali Imran: 31) (Tafsir al-Qur’an al ‘Azhim, Ibnu Katsir Rahimahullah)

Kedua, Banyak menyebut namanya dan ingin melihatnya.
Di antara umatku yang paling cinta kepadaku adalah orang-orang yang hidup sesudahku, yang salah seorang di antara mereka ingin melihatku walau harus mengorbankan keluarga dan harta benda.” (HR. Muslim)

Banyak menyebut manaqib (kisah hidup) dan kepribadian beliau yang mulia, menjalankan sunnah-sunnahnya yang agung, dan banyak bershalawat kepadanya.

Ibnu al-Qayyim di dalam kitabnya, “Jalaul Afham” berkata, “Setiap kali seorang hamba banyak menyebut nama yang dicintainya dan menghadirkan kebaikan-kebaikannya di dalam hati; mengingat sisi-sisi positifnya, niscaya akan bertambahlah kecintaannya kepada yang dicintainya tersebut dan akan menambah pula kerinduannya untuk berjumpa dengannya. Ini semua akan menguasai semua relung hatinya.

Ketiga, Mempelajari dan mengamalkan al-Qur’an serta adab-adabnya.
Imam al-Baihaqi meriwayatkan di dalam kitabnya, “al-Adab”, dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata,
Hendaknya seseorang tidak bertanya tentang dirinya kecuali (tentang kedudukan) al-Qur’an(di hatinya). Jika ia mencintai al-Qur’an, maka ia akan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Keempat, Cinta kepada orang yang mencintai beliau n dan membenci orang yang membencinya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 
Barangsiapa mencintai Ali, sungguh ia telah mencintaiku, dan barangsiapa membenci Ali sungguh ia telah membenciku” (HR. al-Hakim)

Dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
Barangsiapa mencintai keduanya(yakni: al Hasan dan al Husain, cucu Nabi n-pen), sungguh ia telah mencintaiku. Dan barangsiapa membenci keduanya, sungguh ia telah membenciku” (HR.Ahmad)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
Barangsiapa mencintaiku, maka hendaklah ia mencintai Usamah” (HR.Muslim)

Mencintai sahabat, keluarga beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan ulama, ahli ibadah, orang-orang yang zuhud, dermawan, maupun orang-orang yang baik, ini semua merupakan suatu bentuk kecintaan terhadap orang yang mencintai beliau Shallallahu 'alaihi wasallam.

Demikian pula mencintai amal, adab, muamalah dan semua perbuatan yang dicintai beliau Shallallahu 'alaihi wasallam.

Demikian pula, membenci orang-orang yang buruk dan perbuatan-perbuatan buruk yang mereka lakukan. karena hal itu termasuk yang dibenci beliau Shallallahu 'alaihi wasallam.

Kelima, Tidak ghuluw (berlebih-lebihan) dalam mencintai dan mengangkat beliau di atas kedudukan yang semestinya yang telah diberikan Allah Subhaanahu Wataa'laa.

Anas (bin Malik-pen) meriwayatkan bahwa sekelompok orang pernah mengatakan, “Wahai Rasulullah, wahai orang terbaik dikalangan kami, anak orang terbaik di kalangan kami, sayyid kami, dan anak sayyid kami.” (mendengar ungkapan ini) maka beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
Wahai manusia, hati-hatilah dari ucapan kalian, dan janganlah kalian diperdayakan oleh setan! Saya adalah Muhammad, hamba dan utusan-Nya. Demi Allah, aku tidak suka kalian mengangkatku di atas kedudukanku yang telah Allah berikan kepadaku.” (HR. Ahmad)

Keenam, Menghindarkan diri dari bid’ah dan mengikuti hawa nafsu.
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata,
Berittiba’lah (ikutilah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam-red) kalian dan jangan melakukan kebid’ahan, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan” (HR.ad-Darimiy)

Beliau Radhiyallahu 'anhu juga berkata,
Sederhana dalam melakukan sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam melaksanakan bid’ah” (HR. al-Hakim di dalam al-Mustadrak)

Semoga Allah Subhaanahu Wata'aalaa menjadikan kita termasuk golongan orang yang mengikuti beliau Shallallahu 'alaihi wasallam,  orang-orang yang beriman kepadanya dan orang-orang yang benar kecintaan kepadanya Shallallahu 'alaihi wasallam.  Semoga pula Allah Subhaanahu Wata'aalaa menghidupkan kita di atas sunnahnya dan mematikan kita di atasnya pula. Semoga pula Allah mengumpulkan kita di bawah benderanya pada hari kiamat nanti. Semoga Allah mengaruniakan syafa’at beliau kepada kita. Semoga Allah mengampuni kesalahan kita. Sesungguhnya Dia Maha mendengar doa, Dzat yang layak diharapkan. Cukuplah Dia menjadi Penolong kita dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, keluarga dan para sahabat beliau.

[Sumber: Diringkas dari makalah berjudul, “Sittu Simatin Lishidqi al-Mahabbah,” Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr]

Muawiyah bin Abi Sufyan


|| Muawiyah bin Abi Sufyan ||

Saudaraku… semoga Allah merahmati Anda. Ketahuilah bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah salah seorang sahabat mulia Rasulullah yang ia termasuk dalam keumuman ayat Allah yang menjanjikan al-Husna (Surga) untuk para sahabat, sebagaimana firman-Nya, artinya, “Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hadid: 10).

Maka hendaknya kita mendoakan beliau seperti kita juga mendoakan para sahabat lainnya agar Allah meridhai mereka dan tidak selayaknya kita mencela mereka. Inilah akidah ahlussunnah wal jama’ah. Rasulullah bersabda,
Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku, karena kalaulah seandainya salah seorang di antara kalian berinfak emas seperti gunung Uhud besarnya, niscaya hal itu tidak sebanding sama sekali dengan infaq yang mereka keluarkan meski hanya seberat satu mud, tidak pula separuhnya.” (Muttafaq ‘alaihi)

Jika kita tidak boleh mencela para sahabat secara umum, lalu, bagaimana halnya dengan salah seorang di antara mereka yang memiliki keutamaan secara khusus seperti Mu’awiyah bin Abi Sufyan?! Tentu lebih terlarang lagi mencelanya. Pada edisi ini, kita ketengahkan sekilas perihal beliau dan beberapa keutamaannya.

Saudaraku, beliau adalah Abu Abdirrahman Mu’awiyah bin Abi Sufyan Shakhr bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syamsy bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab, berasal dari suku Quraisy. Ibunda beliau bernama Hindun bintu Utbah bin Rabi’ah bin Abdi Syams.

Beliau lahir di Mekkah 5 tahun sebelum Rasulullah diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Ahli sejarah berselisih apakah Mu’awiyah memeluk Islam ketika penaklukan kota Mekkah (Tahun 8 H) atau sebelum penaklukan tersebut.

Imam adz-Dzahabi berkata, “Beliau masuk Islam sebelum ayahnya pada masa umrah qadha yaitu tahun 7 H... Namun ia baru menampakkannya pada Fathu Makkah.” (Tarikh Islam, 4/308).

Diriwayatkan bahwa Mu’awiyah berkata, “Sungguh aku telah masuk Islam di masa umrah qadha, namun aku takut untuk keluar. Ibuku berkata, ‘Jika engkau keluar, kami akan memutus pemberian nafkah kepadamu.’” (Tahdzibul Kamal, al-Mizzi, 28/177).

Saudaraku… Marilah kita simak penuturan tentang keutamaan beliau.

::Didoakan Nabi dan dijamin Surga::
Tatkala bersahur di bulan Ramadhan Rasulullah pernah mendoakan Muawiyah,
Ya Allah, jadikanlah dia penunjuk dan yang memberi petunjuk, tunjukilah ia dan berilah manusia petunjuk karenanya.” (HR. al-Bukhari dalam Tarikh, at-Tirmidzi di dalam Sunannya, dan adz-Dzahabi dalam Siyar, 8/38)
Ya Allah, ajarkanlah Mu’awiyah ilmu tulis dan hitung, serta peliharalah dia dari siksa.” (HR. Ahmad, 4/127)
Rasulullah bersabda,

Pasukan pertama dari umatku yang berperang di laut, telah dipastikan bagi mereka (tempat di Surga).” (HR. al-Bukhari)

Al-Muhallib –sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar -di dalam Fathul Bari, 6/102- berkata, “Dalam hadits ini terdapat keutamaan Mu’awiyah karena beliaulah orang pertama yang berperang dengan armada laut.”

::Seorang juru tulis Nabi::
Abu Sufyan berkata, “‘Wahai Nabiyullah berikanlah tiga perkara kepadaku?’” Beliau menjawab, ‘Ya’. Ia berkata, ‘Aku punya seorang putri yang merupakan wanita terbaik lagi tercantik di kalangan orang Arab, yakni Ummu Habibah bintu Abi Sufyan, aku nikahkan Anda dengannya.’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Ia berkata lagi, ‘Dan Muawiyah engkau jadikan sebagai penulis di sisimu?’ Beliau menjawab, ‘Ya.’ Ia berkata lagi, ‘Dan perintahkanlah aku supaya memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu aku memerangi orang-orang Islam.’ Beliau menjawab, ‘Ya.’” (HR.Muslim).

::Dipercaya oleh tiga khalifah::
Mu’awiyah dan saudaranya Yazid ikut berangkat tatkala Abu Bakar mengutus pasukan ke Syam. Ketika Yazid meninggal, dia ditugaskan menggantikan Yazid untuk menjadi gubernur di Syam. Umar mengokohkan apa yang ditetapkan Abu Bakar dan Utsman menetapkan apa yang ditetapkan oleh Umar. Dia menjadi gubernur di Syam selama 20 tahun dan menjadi khalifah juga selama 20 tahun.

::Santun dan pandai dalam menegakkan hukum dan mengatur negara::
Saad bin Abi Waqqash berkata, “Tak pernah saya melihat seorang yang lebih pandai memutuskan hukum selepas Sayyidina Utsman daripada tuan pintu ini (beliau maksudkan Mu’awiyah).” (al-Bidayah wa an-Nihayah, 8/133).

Ma’mar dari Hammam bin Munabbih, ia berkata, “Saya pernah mendengar Abdullah bin Abbas berkata,’Belum saya dapati orang yang lebih ahli dalam mengatur negara, selain Mu’awiyah. Orang-orang mendatanginya dengan perasaan senang tanpa merasa sempit, tertekan, gelisah ataupun marah.” (as-Sunnah, al-Khallal, 677, Tarikh al-Kabir, al Bukhari, VII/327 dan Tarikh Dimasyqi, Ibnu Asakir, 59/175, dengan sanad shahih).

Qubaishah bin Jabir berkata, “Belum pernah aku melihat orang yang paling besar kesantunannya, lebih banyak kemuliaannya dan lebih lembut dalam mengambil keputusan selain Mu’awiyah.” (Tarikh Dimasyqi, 59/178).

Umar bin Khattab berkata tatkala mengangkat Mu’awiyah sebagai Gubernur Syam,
Janganlah kalian menyebut Muawiyah kecuali dengan kebaikan.” (al-Bidayah, 8/122).

Adalah Ali bin Abi Thalib sepulang dari perang Shifin berkata, “Wahai manusia janganlah kalian membenci kepemimpinan Mu’awiyah karena sesungguhnya kalau kalian kehilangan Mu’awiyah, niscaya kalian akan melihat kepala-kepala manusia terlepas dari badan-badan seperti buah hanzhal.” (Bidayah wa Nihayah, 8/125).

::Seorang yang Faqih::
Pada masa Umar bin al-Khaththab pernah seorang mengadu kepada Ibnu Abbas bahwa Muawiyah melaksanakan shalat witir dengan hanya satu rakaat. Ibnu Abbas berkomentar, “(Biarkan), sesungguhnya dia seorang yang faqih (faham agama).” (HR.al-Bukhari)

::Seorang yang Adil::
Pernah diceritakan kepada Imam al-A’masy tentang keadilan Umar bin Abdul Aziz maka dia berkata, “Bagaimana pula kekaguman kalian jika mendapati Mu’awiyah?” Mereka berkata, “Wahai Abu Muhammad apakah dalam kelembutannya?” Dia menjawab. “Tidak, demi Allah, bahkan dalam keadilannya.” (as-Sunnah, I/437}
Ibrahim bin Maisarah berkata, “Saya tidak melihat Umar bin Abdul Aziz memukul sesorang kecuali seorang yang mencela Muawiyah, beliau mencambuknya dengan beberapa cambukan.” (Tarikh Dimasyq, 59/211)

::Paman Kaum Mukminin, Penulis Wahyu dan Seorang Pemimpin Kaum Muslimin::
Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata, “Mu’awiyah adalah paman kaum mukminin, penulis wahyu Allah, salah seorang pemimpin kaum muslimin semoga Allah meridhai mereka.” (Lum’atul I’tiqad, hal. 31)
Mengapa beliau dikatakan “Paman Kaum Mukminin?” Karena saudara perempuannya, Ummu Habibah, adalah istri Rasulullah.

::Raja Terbaik dalam Umat::
Ibnu Taimiyah berkata, “Para ulama sepakat bahwa Muawiyah adalah raja terbaik dalam umat, karena 4 pemimpin sebelumnya adalah para khalifah nubuwwah, adapun dia adalah awal raja dan kepemimpinannya adalah rahmat.” (Majmu’ Fatawa, 4/478, Minhaj Sunnah, 6/232)
Ibnu Abil Izz al Hanafi berkata, “Raja pertama kaum muslimin adalah Muawiyah, dan dia adalah sebaik-baiknya raja kaum muslimin.” (Syarh Aqidah Thahawiyah, hal. 722)

::Pemuji Allah::
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Muhammad bin Yahya bin Sa’id, ia berkata, “Abdullah bin al Mubarak pernah ditanya tentang Mu’awiyah, “Apa pandanganmu tentangnya?” Beliau menjawab,”Apa yang harus kukatakan terhadap lelaki, yang ketika Rasulullah mengucapkan, ‘Allah mendengar hamba yang memuji-Nya’, Mu’awiyah menyambutnya dari belakang, ‘Segala puji bagi-Mu, wahai Rabb kami’.”(Tarikh Dimasyqi, 59/209)

Muawiyah bin Abi Sufyan meninggal pada bulan Rajab tahun 60 H di usia 77 tahun. Dia dimakamkan di antara Bab al-Jabiyyah dan Bab ash-Shaghir.

Demikianlah, sekilas tentang sahabat mulia yang satu ini Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan beberapa keutamaan beliau yang digambarkan oleh orang-orang yang baik. Sungguh celaka orang yang mencela dan membencinya, bahkan sampai menuduhnya munafik. Atau, bahkan tidak menganggapnya sebagai salah seorang sahabat Nabi.

Semoga Allah meridhai Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan meridhai pula sahabat beliau yang lainnya. Allahu a’lam.

[Sumber: Disarikan dari berbagai sumber]   

Mengapa Percaya Sial?


Mengapa Percaya Sial?

Di zaman ini, ketika teknologi sudah berkembang dengan pesat, masih ada dijumpai orang yang berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang bisa membuat sial. Keyakinan ini tercermin dari ungkapan mereka yaitu, “Kalau ada burung gagak, tandanya akan ada yang meninggal”, “Kalau nabrak kucing, pasti akan ditimpa kesialan,” “Kalau menikah di bulan Muharram, pernikahannya tidak bahagia”, “13 itu angka sial, anak yang lahir tanggal 13 akan sial” dan lain-lain yang menunjukkan keyakinan tentang sial.

Secara logika, semua hal yang dikatakan sial, tidak realistis. Adakah hubungan antara burung gagak dan akan meninggalnya seseorang? Lalu bagaimana pandangan Islam tentang sial?

Kesialan Dalam Al-Qur’an
Ibnul Qayim berkata, “Allah tidak mengisahkan kesialan kecuali dari musuh-musuh para Rasul.” (Miftah Dar as-Sa’adah, 2/231)

Allah berfirman tentang sial,
Allah berfirman, artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui.” (QS. al-A’raf: 131)

Allah berfirman, artinya, “Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.” Utusan-utusan itu berkata: “Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas.” (QS. Yasin: 18-19)

Allah juga berfirman, artinya, “Mereka menjawab: “Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu.” Shaleh berkata: “Nasibmu ada pada sisi Allah, (bukan kami yang menjadi sebab), tetapi kamu kaum yang diuji.” (QS. an-Naml: 47)

Hukum Meyakini Sial

1. Pintu menuju kesyirikan
Ibnu Mas’ud juga berkata, bahwa Rasulullah bersabda,
Ath-Thiyarah (merasa bernasib sial) adalah kesyirikan, Ath-Thiyarah adalah kesyirikan.”
Kemudian Ibnu Mas’ud berkata,
Tidak ada di antara kita kecuali (ada sifat merasa bernasib sial), tetapi Allah menghilangkannya dengan rasa tawakkal (bersandar kepada-Nya).” (HR. Abu Daud)

Rasulullah juga bersabda,
Barangsiapa yang berpaling dari kebutuhannya dikarenakan perasaan bernasib sial maka sungguh dia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad)

2. Sial tidak ada dalam Islam
Rasulullah bersabda,
Tidak ada adwa, thiyarah, hamah dan shafar.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Adwa
Wabah atau penularan penyakit. yaitu tidak terjadi penularan penyakit kecuali atas kehendak Allah.

Thiyarah
Merasa sial atau bernasib buruk karena melihat burung, atau binatang tertentu.

Hamah
Burung Hantu. Orang-orang Jahiliyah merasa sial apabila ada burung hantu hinggap di atas rumah.

Shafar
Bulan kedua dalam tahun Hijriyah. Orang-orang beranggapan bahwa bulan tersebut adalah bulan sial, bulan panas. Termasuk keyakinan bahwa bulan Suro (Muharram) termasuk bulan sial dan bulan penuh bencana.

3. Musyrik karena berkeyakinan ada yang mengatur, mencipta dan berkuasa selain Allah.
Allah berfirman, artinya, “Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, “Allah”. Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31).

4. Musyrik karena keyakinan bahwa ada yang mengetahui hal gaib selain Allah
Allah berfirman, artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang gaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabbmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud: 123).

Allah juga berfirman,artinya, “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (al-Lauh al-Mahfuzh).” (QS. al-An’am: 59).

Allah juga berfirman, artinya, “Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (QS. an-Naml: 65)

5. Tidak termasuk umat Nabi
Rasulullah bersabda,
Tidak termasuk golongan kami orang yang melakukan atau meminta dilakukan Tathayyur (kesialan).” (HR. at-Thabrani, no. 14770)

Kedudukan Manusia dalam meyakini Kesialan
1. Orang yang menganggap sial dan meyakininya sehingga meninggalkan apa yang hendak dikerjakan. Yang demikian hukumnya haram dan masuk ke dalam pintu kesyirikan.

2. Orang yang menganggap sial dan meyakininya tetapi tidak meninggalkan apa yang hendak dikerjakan, namun diiringi dengan perasaan gelisah dan risau karena takut kesialan akan menimpanya. Ini lebih ringan dari yang pertama tetapi dia kurang dalam tawakal kepada Allah.

3. Orang yang tidak pernah beranggapan sial dan tidak pula meyakininya. Inilah yang terbaik dan sempurna serta memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Sebagaimana sabda Rasul tentang 70 ribu golongan dari umatnya yang akan masuk Surga tanpa ada perhitungan (hisab) dan siksa (hisab). Mereka adalah,
Orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta di-kai (pengobatan dengan besi panas), tidak merasa sial/ bernasib malang, dan hanya kepada Rabbnya mereka bertawakal.” (Muttafaqun alaih).

Bagaimana cara menghilangkan keyakinan bernasib sial?
Di antara keindahan syariat Islam adalah memberikan obat dan penebus dosa ketika seseorang sudah terjatuh dalam keharaman, termasuk masalah sial. Adapun cara menghilangkannya, adalah sebagai berikut;

1. Tawakkal (Bersandar kepada Allah) dan menjauhi perasaan sial.
Sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud,
Tidak ada diantara kita kecuali (ada sifat merasa bernasib sial), tetapi Allah menghilangkannya dengan rasa tawakkal (bersandar kepada-Nya).” (HR. Abu Daud)

2. Berdoa kepada Allah dari kejelakan jika dihinggapi perasaan sial
Rasulullah bersabda,
Barangsiapa yang berpaling dari kebutuhannya dikarenakan perasaan bernasib sial, maka sungguh dia telah berbuat syirik.
Para Sahabat kemudian bertanya, “Apa penebusnya, wahai Rasulullah?
Rasulullah menjawab, “hendaknya salah seorang di antara kalian mengucapkan,
Ya Allah tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu. Tidak ada kesialan kecuali kesialan yang Kau tetapkan. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau.””(HR. Ahmad, no 7045)

3. Berusaha menolaknya ketika perasaan sial datang dan tidak mengikuti perasaan tersebut.
Rasulullah mengajarkan doa agar ketika melihat apa yang dibencinya dengan doa,
Ya Allah, tiada yang dapat mendatangkan kebaikan kecuali engkau. Tidak ada yang dapat menolak bahaya kecuali engkau. Tidak ada daya dan upaya melainkan denganmu.” (HR. Abu Dawud)

Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa Islam tidak mengenal yang namanya SIAL. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishawab (Redaksi)

[Sumber: Dirangkum dari kitab Majmuatu Masaila fi Ahkami at-Tathayur, al-Mathar, Hukmu Istikhdami Jauzatut Tibb, Hukmu Qatli Rijalul Amni, DR. Naif bin Ahmad al-Hamd, Hakim di pengadilan Umum di Riyadh -KSA dengan beberapa tambahan dari sumber lain] 

Nabi Isa dalam Al-Qur'an


Nabi Isa dalam Al-Qur'an
Al-Qur’an telah memberikan informasi yang jelas tentang kebenaran nabiyullah Isa. Berikut beberapa berita dari al-Qur’an tentang beliau, yaitu;

1. Penciptaan
“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia.” (QS. Ali Imran: 59).

2. Proses Kehamilan Ibunda
“Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam al-Quran, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur. Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami(yakni: Jibril-ed) kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata, “Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan Yang Maha pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.” Ia (jibril) berkata, “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.” Maryam berkata, “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!” Jibril berkata, “Demikianlah.” Tuhanmu berfirman, “Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.” Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan.” Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah,“Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.”(QS. Maryam: 16-25).

3. Bukan Anak Allah
“Dan orang-orang Nasrani berkata, “al-Masih itu putra Allah.” Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. at-Taubah: 30).
“Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia.”(QS.Maryam: 35).

4. Mampu Berbicara Walau Masih Bayi
“Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata,“Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina”, maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata, “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?” Berkata Isa,“Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 27-32)

5. Dianggap Tuhan oleh Pengikut Nashara
Allah berfirman, artinya, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah [*] dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. at-Taubah: 31)
[*] Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.

6. Isa Bukan Allah
“Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.”(QS. Ali Imran: 51)
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah al Masih putra Maryam”, padahal al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.”(QS. al-Maidah: 72)

7. Utusan Allah Untuk Bani Israil
“Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka): “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.” (QS. Ali Imran: 49).
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu[*], dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya al Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.” (QS. an-Nisa: 171).
[*] Maksudnya: janganlah kamu me- ngatakan Nabi Isa p itu Allah, sebagai yang dikatakan oleh orang-orang Nasrani.

8. Nabi Isa Tidak Dibunuh
Allah berfirman, artinya, “Dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah[*]”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.” (QS. an-Nisa: 157)
[*] Mereka menyebut Isa putra Maryam itu Rasul Allah ialah sebagai ejekan, karena mereka sendiri tidak mempercayai kerasulan Isa itu.

9. Nabi Isa Diangkat oleh Allah
“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. an-Nisa: 158)

10. Diperingatkan Oleh Allah
“(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan ijin-Ku, kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata.” (QS. al-Maidah: 110)

11. Allah Mengabulkan Permohonan Nabi Isa
“Isa putra Maryam berdoa: “Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezkilah kami, dan Engkaulah pemberi rezki Yang Paling Utama.” 
Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan itu), maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorangpun di antara umat manusia.” (QS.al-Maidah: 114-115)

12. Mendakwahkan Kebenaran
“Dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata.” (QS. ash-Shaff: 6)

13. Berlepas diri dari Orang-Orang Nashrani
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”(QS. al-Maidah: 118)

14. Nabi Isa Manusia Biasa
“Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan[*]. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu).”(QS.al-Maidah: 75)

[*] Maksudnya ialah: bahwa Isa p dan ibunya adalah manusia, yang membutuhkan 
apa yang diperlukan manusia, seperti makan, minum dan sebagainya.
Allah berfirman, artinya, “Itulah Isa putra Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya.” (QS. Maryam: 34).
Demikian beberapa berita tentang Isa yang terdapat di dalam al Qur’an. Allahu a’lam 

[Sumberal-Qur’an al-Karim wa Tarjamatu Ma’aniihi Ilaa al-Lughah al-Indonesiyah, Pelayan Kedua Tanah Suci, Raja Fahd bin ‘Abd al Aziz al Sa’ud, Raja Kerajaan Saudi Arabia dengan tambahan sub judul dari redaksi].