Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 17 Februari 2013

Ya sudahlah....


Ya sudahlah....

Dalil-Dalil Maulid


Yang pertama merayakan Maulid Nabi SAW adalah shahibul Maulid sendiri, yaitu Nabi SAW, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan Muslim bahwa, ketika ditanya mengapa berpuasa di hari Senin, beliau menjawab, “Itu adalah hari kelahiranku.” Ini nash yang paling nyata yang menunjukkan bahwa memperingati Maulid Nabi adalah sesuatu yang dibolehkan syara’.

Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.


PERTAMA, peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di hatinya? —)

KEDUA, beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmat-Nya yang terbesar kepadanya.

KETIGA, gembira dengan Rasulullah SAW adalah perintah Al-Quran. Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira’.” (QS Yunus: 58).

Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107).

KEEMPAT, Nabi SAW memperhatikan kaitan antara waktu dan kejadian-kejadian keagamaan yang besar yang telah lewat. Apabila datang waktu ketika peristiwa itu terjadi, itu merupakan kesempatan untuk mengingatnya dan mengagungkan harinya.

KELIMA, peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).

Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya.

KEENAM, dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.

KETUJUH, peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.

Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.

KEDELAPAN, mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.

Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, baik fisik (tubuh) maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.

KESEMBILAN, mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk pengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.

KESEPULUH, dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan.” Hal itu menunjukkan dimuliakan-nya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari dilahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulia?

KESEBELAS, peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, ia pun baik di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”

KEDUA BELAS, dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.

KETIGA BELAS, Allah SWT berfirman, “Dan semua kisah dari rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu, yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” (QS Hud: 120). Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya.

KEEMPAT BELAS, tidak semua yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalil-dalil syara’.

KELIMA BELAS, tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umur, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.

KEENAM BELAS, peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang baik), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).

Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perincian-perincian amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.

KETUJUH BELAS, semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincinan amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Karena apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun dituntut oleh syara’.

KEDELAPAN BELAS, Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji.”

KESEMBILAN BELAS, setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemungkaran, itu termasuk ajaran agama.

KEDUA PULUH, memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.

KEDUA PULUH SATU, semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nabi SAW hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan mungkar yang tercela, yang wajib ditentang.

Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatan-perbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tak diridhai shahthul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut. [infokito]

Penjelasan Sederhana Tentang Maulid


Mungkin saya akan coba jelasin maulid dgn lebih simple agar lebih mudah difahami oleh para wahabi… maaf kang klo tulisannya agak pnjang….
para wahabi neh baca, dah saya tulis sesimple mungkin agar gampang dimengerti…
klo masih gk ngerti juga mending otaknye dibuang kesampah aja…

Seperti anda tau perayaan mauled itu sebuah kegiatan yg isinya tholabul ilmi, shodaqoh, dzikir n tauziyah, nah anda pasti sangat faham dalil2 ttg tholabul ilmi, shodaqoh, dzikir n tauziyah, sudah byk bertebaran diseantero FB, silakan cari sendiri..

Nah yg mnjadi masalah disini adalah bgmanakah Dalil dari “PERAYAAN MAULID” bnar tidak?

sampai2 anda menanyakan “MANA DALILNYA?”


Saya mungkin akan jelaskan sedikit, saya mulai dari suatu kaidah dalam ushul fiqh yg sering didengung2kan oleh para Salafi,

“Asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menghalalkannya atau menyuruhnya”..

Nah dari kaidah ini sesuatu yg diangap ibadah selalu muncul pertanyaan
“mana dalilnya?” krn sifat dri ibadah yg tauqif

Permasalahnya adalah utk ibadah apakah kaidah diatas ?

Saya akan coba mengambil dari kitab,
bahwa yg dinamakan ibadah sifatnya tauqif adalah sudah ditetapkan dan tidak boleh ditambah2 atau dikurangi atau mendahulukan atau melebihkan atau apapun itu….
Dan ini beda dengan muamalah yg asalnya boleh sampai ada dalil yg melarangnya…
Nah sekarang kita lihat apakah sbnarnya ibadah tauqif itu….

tauqifi dalam sifat ibadah
ibadah itu tauqifi dalam semua hal. dalam sifatnya,,,
maka tidak boleh untuk menambah dan megurangi. seperti sujud sebelum ruku’, atau duduk sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada tempatnya…oleh karena itu, yang namanya ibadah itu tauqifi dinuqil dari syari’ ( allah )

tauqifi dalam waktu pelaksanaan ibadah
waktu pelaksanaan ibadah juga tauqifi. maka tidak boleh seseorang itu membuat buat ibadah di waktu tertentu yang syari’ tidak memerintahkannya.

tauqifi dalam macamnya ibadah
begitu juga ibadah juga harus disyaratkan sesuai dg syari’at..artinya termasuk dari jenis ibadah yang disyariatkan. maka tidak sah bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak disyariatkan, seperti menyembah matahari. atau memendam jasadnya sebagian sembari berkata : saya ingin melatih badanku misalkan. ini semua bid’ah.

begitu juga tauqifi dalam tempat ibadah.
maka ini juga harus masyru’. maka tidak boleh beribadah tidak pada tempat yang sudah disyari’atkan. seperti jika seseorang wukuf di muzdalifah, maka ini bukan haji. atau wuquf dimina, atau bermalam ( muzdalifah ) di ‘arafah, dan sebaliknya, maka ini semua bukanlah sesuatu yang masyru’. kita wajib melaksanakan ibadah sesuai tempat yang sudah disyari’atkan oleh syari’

Nah dari penjelasan kitab diatas dpt ditangkap 4 point, dan bila diperhatikan maka disitu didapat kesimpulan bahwa ibadah yg sifatnya tauqif itu adalah ibadah mahdoh… faham??
(ada bbrapa pnjelasan dari kitab2 n pendapat salafy sendiri yg membaginya bukan hNY 4 tapi lebih bahkan mpe 6, tapi intinya sama, ibadah yg diimksd adalah ibadah mahdoh)

Jadi yg dimaksd ibadah dalam kaidah “Asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menghalalkannya atau menyuruhnya”..
adalah ibadah yg sifatnya mahdoh saja, bukan semua ibadah

Nah untk bisa membedakannya ibadah harus dilihat wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan)
Utk ibadah yg sifatny mahdoh Cuma ada maqoshid, sedangkan utk goer mahdoh ada maqoshid ada wasail

Ok… langsg contoh saja….biar gampang, perhatikan baik2 mz….

Sholat, sudah jelas krna ibadah yg dzatny adalah ibadah, maka yg ada Cuma maqoshid (tujuan) tidak ada wasail

Anda menulis di FB, Kegiatan mnulis sendiri itu bukan ibadah maka hukumnya mubah
Tapi krna anda mengharapkn ridho Allah dalam rangka dakwah dgn jlan menulis di FB maka dlam Islam ini berpahala dan termasuk ibadah
(wasailnya anda menulis di FB, maqoshidnya mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah)
Tapi jika anda menganggap kegiatan menulis ini sebuah ibadah yg dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdoh sudah pasti ini namanya bid’ah dholalah

Saya kasih contoh lagi, kegiatan pengajian dan tabligh, awalnya bntuk kedua kegiatan ini bukan ibadah dan tdk ada contoh dri rasul jadi hukumnya mubah, tapi krna isi dari kegiatan ini adalah ibadah macam (tholabul ilmi dan tauziyah atau bahkan dakwah) maka kegiatan pengajian n tabligh insyaallah brpahala n brnilai ibadah
(wasailnya kegiatan pengajian n tabligh, maqoshidnya mengharapkan ridho Allah dalam rangka holabul ilmi n berdakwah)
Sekali lagi jika anda menganggap kegiatan pengajian n tabligh ini sebuah ibadah yg dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdoh sudah pasti ini namanya bid’ah dholalah

Begitu jga dgn maulid, maulid adalah wasail (perantara atau ada yg bilang sarana), maqoshidnya adalah mengenal Rasul n mengagungknny…
Bagaimanakah hukum awal dari Maulid? Jwbnny adalah mubah boleh dilakukan boleh tidak
Tapi knpa mnjadi sunah?? Mnjadi sunah dikarenakan hukum maqoshidny adalah sunah (mengenal n mengagungkn Rasul adalah Sunah)
karena yg namanya hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid (Lil Wasail hukmul Maoshid) – ini adalah kaidah ushul fiqh
Contoh gampangny utk (Lil Wasail hukmul Maoshid),
anda membeli air hukumnya mubah, mo beli atau gak, gk ada masalah
Tapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali hrus membeliny n anda punya kemampuan utk itu maka hukum membeli air adalah wajib

Kembali lagi ke maulid
Apakah maulid bisa menjadi sesuatu yg bid’ah (dholalah)?ya bisa jika anda menganggap maulid adalah sebuah ibadah yg dzatnya adalah ibadah seprti sholat wajib

Nah perlu saya garis bawahi pertanyaan2 sprti,
apakah dasar merayakan maulid?
^
^
INI ADALAH PERTANYAAN YANG SALAH.
tidak ada ceritanya namanya wasail ada dalil naqlinya,

contoh lagi biar lebih gampang mencerna :
anda brgkat ke bersekolah, ini adalah wasail, maqoshidnya tholabul ilmi, tpi krn tholabul ilmi itu hukumny wajib maka brgkt kesekolahpun mnjdi wajib n bernilai ibadah
Dalil yg ada adalah dalil ttg tholabul ilmi
bagaimanakah dalil yg menyuruh kita berangkat kesekolah? JELAS TIDAK ADA!!karena ini adalaha wasail atau sarana
Begitupula dgn maulid, klo anda tanya dalil maqoshidnya yaitu ttg mengenal n mengagungkan Rasul ya pasti ada
Tapi jika anda tanya dalil wasailnya, yaitu perayaan Maulid? JELAS TIDAK ADA!!karena ini adalaha wasail atau sarana

sedikit tambahan, ini juga dasar knpa brmadzab itu wajib hukumnya bagi kita,
krn madzab adalah wasail, dan ini satu2nya cara yg bisa dilakukan utk mengerti agama ini, kita gk mgkin brtanya lgsg ke rasul
sedangkn maqoshidnya agar kita bisa mengerti ttg agama islam shingga kita bisa mengamalkanny dgn bnar(hukumnya ini wajib).
maka bermadzab mnjadi wajib
klo anda tanya mana dalil naqlinya scra leterleg yg menyuruh kita bermadzab?
yaa gk ada, lha wong bermadzab itu cuma wasail

saya harap setelah ini anda2 bisa bljar n lebih mengerti sehingga tdk serampangan dalam bertanya..

Jgn sedikit2 bertanya “MANA DALILNYA?” , tanpa tau sesuatu hal itu perlu dalil atau tdk

bgmna prtanyaan bisa dijwb, klo prtanyaannya saja salah????

Tabarruk

Kitab Hadits Shahih Muslim Karya Imam Muslim bin al Hajjaj (Imam Ahli hadits), dengan syarahnya karya Imam Yahya bin Syaraf an Nawawi, juz. 14 penerbit Darr Al-Fikr tahun 1983 M / 1403 H. Hal. 43-44,


Dia (Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq) mengeluarkan jubah –dengan motif– thayalisi dan kasrawani (semacam jubah kaisar) berkerah sutera yang kedua lobangnya tertutup. Asma’ berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semula ia berada di tangan ‘Aisyah. Ketika ‘Aisyah wafat maka aku mengambilnya. Dahulu jubah ini dipakai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, oleh karenanya kita mencucinya agar diambil berkahnya sebagai obat bagi orang-orang yang sakit”. Dalam riwayat lain: “Kita mencuci (mencelupkan)-nya di air dan air tersebut menjadi obat bagi orang yang sakit di antara kita”.

Dalam menjelaskan hadits di atas Imam an-Nawawi [Syarh Nawawi] menuliskan: Dalam hadits ini terdapat dalil dalam anjuran untuk mencari berkah dengan peninggalan-peninggalan orang-orang saleh dan dengan baju mereka.

Hadits ini benar-benar telah menusuk “jantung” wahabi yg anti TABARRUK dgn Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan waliyullah. Tp sayangnya mereka sangat menyanjung ulama Najd dan pengikutnya. Wallahu a’lam

Membaca Al Qur'an Di Kuburan

Sunnah hukumnya membaca Al-Qur'an di makam apalagi sampai mengkhatamkannya. Hal itu diterangkan di dalam kitab "Al-Adzkar (الأذكار) karya Imam Nawawi halaman 137.

Artinya:
"Telah berkata Imam Syafi'i dan sahabat-sahabatnya: Disunnahkan membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an di sisi mayit. Mereka berkata: Seandainya mereka mengkhatamkan Al-Qur'an secara keseluruhan, maka itu sesuatu yang baik.


Dan kami meriwayatkan di dalam kitab "Sunan Al-Baihaqi" dengan sanad hadits yang bagus, yaitu: Sesungguhnya Ibnu Umar mensunnahkan membaca awal dan akhir surat Al-Baqarah di makam (kuburan) setelah pemakaman jenazah."

Duduk Diatas Kuburan


Ada sebagian orang yg menggunakan Hadits di bawah ini untuk menjustik bahwa apa yg selama ini di lakukan sebagian Besar kaum Muslimin suka berziyarah, dan membaca Al quran di sana, atau Ibadah2 yg lain adalah perbuatan yg yg menselisihi Sunnah. tulisan ini mencoba menjelaskan dari beberapa sisi pandangan Ulama yg Kridible dan merupakan lanjutan untuk firanda cs yg hoby menjustic dg jurus2 santet yg berbahaya.

“Dari Ibnu Umar, dari Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa Sallam Bersabda: (Jadikanlah Rumah2 Kalian Sebagai tempat Sholat, dan jangan di buat Kuburan)” – Hadits Muttafaq ‘alaih.



Kemudian Hadits ini di buat semacam Alasan bahwa Kuburan bukan tempat Ibadah, karena jelas sekali Rosulullah memerintahkan kita untuk beribadah (yg dalam hal ini adalah Sholat)  itu di rumah, dan larangan Nabi untuk jangan membuat Rumah sebagai Kuburan sebagai rangkaian Kalimat yg tersambung. Katanya ini menunjukkan Larangan beribadah di Kuburan.



Saya tidak tahu penafsiran semacam ini di ambil dari Salafus Salih siapa, atau dari pakar Hadits siapa, atau Ulama Mujtahid dari mana. Kita tahu, yg punya kapasitas untuk menafsirkan Hadits itu bukanlah orang yg seperti saya, yg hanya pandai copas dan menukil2 dari internet atau buku2 terjemah atau dari internet sesuai selera sendiri.

Dakwah yang bertanggung jawab akan melahirkan ketenangan Jiwa bagi yang di Dakwahi, karena Dakwah Adalah Cinta dan tanggung jawab untuk menjelaskan secara adil tanpa menyembunyikan fakta yang ada.

Baiklah sekarang mari kita coba mencari tahu kandungan arti dan maksud hadits di atas, tentu dari orang yg berkapasitas keilmuannya yg sudah di akui oleh seluruh cendikiawan Muslim sedunia.

“Imam Nawawi mengatakan dalam Kitab Syarah Muslim 76/6: (sabda Nabi “Dan jadikanlah Rumah2 Kalian sebagai tempat Sholat Kalian, dan Jangan jadikan Rumah2 Kalian sebagai Kuburan” adalah Sholatlah kalian di dalam Rumah2 itu, dan jangan menjadikan Rumah2 itu sebagai tempat yg di tinggalkan/ singkirkan dari menjalankan sholat (artinya sunyi dari aktifitas sholat pen), arti dari itu adalah: yg di maksud adalah sholat Sunnah, maksud perkataan Nabi itu adlah Sholat Sunnahlah Kalian di dalam Rumah2 Kalian”.



Nah sekarang sudah jelas apa yg di maksud tidak boleh membuat rumah sebagai kuburan adalah membuat rumah sepi atau jarang di lakukannya Sholat atau Ibadah yg lain, sehingga sepi seperti kuburan. Nah sebenarnya cuplikan ini sudah bisa menunjukkan bahwa sebenarnya Mereka BERMANHAJ SALAF SEBATAS PENGAKUAN saja.

Agar lebih jelas bahwa saya adalah pengekor Habaib dan pemuja Nafsu, akan saya tambah lagi penjelasan dari Kitab lain, simak yg berikut:

 “Yang di maksud (jadikanlah Rumahmu sebagai tempat Sholatmu dan janganlah di jadikan sebagai Kuburan) karena Orang itu jika sudah mati dan telah pindah di kuburan itu tidak akan sholat lagi. Dan di katakan (tentu saja bukan Habaib palsu yg mengatakan pen) : Jangan jadikan Rumah2 Kalian sebagai tempat tinggal untuk tidur saja, tidak pernah mengerjakan sholat di dalamnya, Tidur itu adalah saudaranya kematian, dan Mayyit itu tidak sholat. Dan berkata Al Turbasyti: dan Hadits ini juga mengandung maksud “barang siapa yg tidak pernah sholat di Rumahnya sama dengan membuat dirinya seperti Mayyit dan rumahnya seperti Kuburan”.

“dan telah datang sebuah Hadits yg menguatkan keterangan ini semua, tersebut di dalam Sahih Muslim (Perumpamaan Rumah yg di dalamnya di buat Dzikir kepada Allah dan Rumah yg tidak pernah di buat Dzikir adalah umpama Hidup dan Mayyit), adpaun maknanya: janganlah kalian seperti Orang2 Mati yg tidak pernah Sholat di Rumah mereka, dan itulah Kuburan, atau janganlah kalian meninggalkan Sholat di dalam Rumah sehingga Rumah kalian menjadi Kuburan” (Kitab Muroqotul Mafatih Bab Shlat alannabi Juz 3 hal 11 cet Dar al Fikri).



‏Dan di dalam Kitab Fathul Bari Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqolani menerangkan panjang lebar yg di antaranya adalah Hadits tersebut bisa di ambil kesimpulan tidak bolehnya Rumah pribadi itu di jadikan tempat menanam Mayat, karena itu termasuk kekhususan Nabi. Wallahu a’lam…..

Kita melangkah ke Hadits berikutnya yg juga di jadikan semacam senjata oleh segelinitir orang dalam rangka menyalahkan Amalan Orang lain sebagai berikut:

“Janganlah kalian sholat ke (arah) kuburan dan janganlah kalian duduk di atasnya” (HR Muslim)



Untuk masalah Duduk di atas Kuburan ini sebaiknya anda tahu yg mana yg kuburan dan yg mana yg di samping kuburan, sebab jangan sampai kita salah persepsi dalam menyimpulkan, bangunan yg melingkupi, atau pelataran di kanan kirinya, atau celah di antara dua kuburan bukanlah Kuburan.

Kemudian Larangan dalam Hdits tersebut apakah berbentuk Larangan Tahrim (Keharaman) atau hanya sekedar Himbauan saja? Mari kita simak keterangan dari para Ahlinya. Untuk perowinya sengaja tidak saya terjemahkan sekalian, yg penting kandungan Kalimat penjelasan dan haditsnya saja yg di terjemah.

“Sesungguhnya Rosulullah melarang kita untuk duduk di atas kuburan”

(Lihat dg mata telanjang di situ terdapat  kalimat “di atas kuburan” bukan “di kuburan” pen)

“Rosulullah bersabda: Alangkah duduknya sesorang di atas bara sehingga membakar pakaian dan menjilat kulitnya itu lebih bagus daripada duduknya seorang di atas Kuburan”

(Kalimat himbauan yg sangat keras dg cara Analog pen)

“Abu Ja’far mengatakan: Maka sekelompok Kaum memakruhkan duduk di atas Kuburan berdasarkan Atsar ini dan mengikutinya begitu saja”

“Dan Kelompok Kaum yg lain berbeda pendapat , mereka mengatakan: Atsar di atas tidak menunjukkan kemakruhannya duduk di atas kuburan, tetapi yg di maksud makruh di situ adalah ketika duduk dalam rangka Berak atau Kencing, Kalimat Julus itu Lumprah dalam tata bahasa Arab bahawa, di katakan “Duduk fulan untuk berak dan Duduk Fulan untuk kencing”

“Kelompok yg ke dua ini (yg tidak memakruhkan duduk di atas Kuburan) berhujjah dg apa yg di sampaikan Oleh Sulaiman bin Syu’aib, berkata menceritakan kepadaku ‘Amru bin  ‘Ali, tsana ‘Utsman bin Hakim dari Abi Umamah sesungguhnya Zayd bin Tsabit berkata: Kemarilah wahai Anak saudaraku, akan aku kasih kabar bahwa sesungguhnya Larangan Nabi untuk tidak duduk di atas kuburan itu adalah ketika untuk Berak dan Kencing, maka Zayd bin Tsabit menjelaskan dalam Hadits ini bahwa Duduk yg terlarang dalam Atsar yg pertama itu adalah seperti yg telah ia katakana”

Penjelasan2 di atas juga di dukung oleh Hadits2 berikut:

“Bersabda Rosulullah: Barang siapa yg duduk di atas Kuburan, yg berak dan kencing di atasnya, maka seakan2 dia telah menduduki Bara Api”

Hadits senada namun dg Kalimat “Qo’ada” bukan “Jalasa” adalah:

“Barang siapa yg duduk di atas Kuburan kemudian Berak dan Kencing di atasnya, maka seakan2 dia telah menduduki Bara Api”

“Maka dg Hadits dan Atsar di atas, sesungguhnya Duduk yg terlarang dalam Atsar yg pertama itu adalah Duduk yg seperti ini (Berak dan Kencing), adapun duduk bukan untuk keduanya tidaklah terlarang dan tidak masuk dalam pelarangan itu. Ini adalah Perkataan Imam Abi Khanifah, Abi Yusuf dan Muhammad Semoga Rahmat Allah atas mereka”

Selanjutnya dalam kitab yg sama di riwayatkan sebagai berikut:

“Sesungguhnya Ali bin Abi Tholib Karromallahu wajhahu pernah duduk di atas Kuburan dan berkata Al Maula: Saya menggelar (tikar) untuknya di kuburan dan kemudian Ali berbantal dg Kuburan itu dan berbaring” (Kitab Syarah Al Ma’any wa Al Atsar oleh Al Thokhawy juz 1 hal 515 – 517)

Untuk keterangan Maksud dari Sholat ke Kuburan saya kira sudah lebih dari cukup pada tulisan saya di sini dan Pemikiran Salafi ini lebih di sebabkan kurangnya membaca dari berbagai komentar para Salaf yang sesungguhnya.

InsyaAllah tulisan ini akan berlanjut pada keterangan2 berikutnya yg mana dalam Hadits dan Ayat itu ada pada satu artikel situs yg suka menyalahkan2 penafsiran Ulama.

Talqin !!


Di kalangan masyarakat kita, ketika ada orang meninggal dunia, dan dimakamkan, maka dibacakan talqin, yaitu sebuah tuntunan kepada si mayit agar mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir. Tradisi ini berlaku hampir di seluruh negara Islam yang menganut faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ada dialog menarik seputar talqin ini, yang diceritakan oleh teman saya, Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan. Ia bercerita begini:
Sekitar bulan Maret 2010 ada seorang mahasiswa IAIN Sumatera Utara yang kos di salah satu sudut kota Medan. Tiap malam rabu ia belajar mengaji bersama kami didaerah Sunggal. Waktu itu kitab yang dibaca adalah kitab al-Tahdzib fi Adillat al-Ghayah wa al-Taqrib, karya Musthafa Dibul Bugha. Mahasiswa ini sangat resah dengan keberadaan ponakannya yang belajar di Pondok As-Sunnah, sebuah pesantren yang diasuh oleh orang-orang Wahhabi. Sepertinya anak itu telah termakan racun ajaran Salafi. Mahasiswa itu berjanji membawa keponakannya ke Majelis Ta’lim kami di Sunggal. Pada malam yang ditentukan datanglah mereka, bersama keponakannya itu, sebut saja dengan inisial X.
Setelah mereka berkumpul, saya bertanya, kira-kira apa yang akan kita diskusikan?
X menjawab, “Banyak Ustadz, antara lain soal Talqin dan bid’ah”.
Saya bertanya, “Apa yang kita masalahkan dengan bid’ah itu?”
X menjawab, “Ini Ustadz, bid’ah itu kan dosa dan pelakunya diancam siksa dalam banyak hadist” Demikian X itu menjawab.
Saya tanya, “Benar, kita sepakat bid’ah itu sebuah ancaman dan membahayakan sekali. Tapi perlu diingat, bid’ah itu tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari nama Islam alias Murtad. Bid’ah itu ada kalanya berkaitan dengan aqidah, kadang dengan ibadah. Kamu tahu enggak apa itu Bid’ah?”
X menjawab, “Sebagaimana yang kami pelajari, bid’ah itu ialah segala sesuatu yang menyangkut ibadah yang tidak ada di zaman Nabi dan dilakoni oleh Nabi dan Salafus Sholeh, seperti Talqin, Madzhab, Ushalli dan lain sebagainya.”
Saya berkata, “Definisi bid’ah seperti itu siapa yang membuatnya? Nabi, atau Sahabat, dan atau Tabiin?”
X menjawab, “Itu rangkuman pemikiran saya saja.”
Saya berkata, “Kalau begitu definisi bid’ah menurut Anda itu kan tidak ada penjelasannya dari Nabi. Nah definisi Anda itu juga Bid’ah, kan definisi anda itu bukan keluar dari ucapan Nabi. Ok..? Ini sesuai yang Anda katakan.”
Mendengar umpan saya, X terdiam. Kemudian ia berkata, “Lalu bagaimana dengan hadisi “Man Ahdasta Fii Amrina haza Fahuwa Roddun“.
Saya balik bertanya, “Kenapa dengan Hadist itu?”
X berkata, “Hadist ini secara tegas menyingkap apa itu bid’ah.”
Saya berkata, “Benar, tapi perlu dicermati maksud kalimat, man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu. Menurut pemahaman Anda bagaimana dengan kalimat itu?”
X menjawab: “Menurut saya pokoknya menciptakan Ibadah baru itu Bid’ah!!.”
Saya berkata: “Kalau begitu Anda memahami hadist itu pakai kacamata kuda dong. Saya bertanya, apa arti ma laisa mihu dalam hadits tersebut? Tolong Anda jelaskan tiga kata ini.”
Ternyata X hanya terdiam tidak bisa menjawab.
Saya berkata: “Saudara, kata ahdatsa dalam hadits tersebut bermakna menciptakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan kata fi amrina, bermakna sesuatu yang merupakan urusan Agama kami, maksudnya suatu hal yang baru yang berkaitan dengan agama. Sedangkan kata ma laisa mihu, bermakna sesuatu yang tidak ada dalilnya secara langsung atau tidak langsung dari agama. Nah demikian itu baru dihukumi bid’ah. Makanya al-Imam al-Nawawi dalam Kitab al- Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab menyatakan bahwa bid’ah adalah sesuatu urusan yang baru dalam agama yang tidak ada dalilnya. Dalil-dalil itu adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Selama masih ada dalilnya dari salah satu yang empat tersebut, maka itu bukan bid’ah. Anda kalau zakat fitrah pake apa? Seharusnya mesti pakai korma dong. Rasul SAW mengatakan tidak pernah pakai beras.
Rasul tidak mempraktekkan zakat fitrah pakai beras. Pakai beras itu Qiyas dari korma dan gandum. Jadi kalau tidak menggunakan Qiyas, tentu saja Islam ini sempit sekali. Demikian pula masalah Takhtim, Tahlil yang selalu diamalkan masyarakat kita, isinya adalah pembacaan al Qur’an, Tahlil dengan kalimat Laa lllaha lllalloh, Sholawat, lalu doa. Saya tanya Anda. “Apakah ada larangan membaca itu semua, baik menurut al-Qur’an dan hadist?”
Mendengar pertanyaan saya, X menjawab: “Tidak ada.”
Saya berkata: “Apakah ada perintah membaca itu semua menurut al-Qur’an dan hadist secara umum?”
X menjawab: “Ada.”
Saya bertanya: “Adakah larangan Allah dan Rasul untuk berdzikir, baca al-Qur’an dan lain sebagainya itu?”
X menjawab:” Tidak ada.”
Saya berkata: “Nah! Kan tidak ada larangan. Sementara pengamalan tersebut ada sanjungan dari Allah dan Rasul, maka itu bukanlah bid’ah yang terlarang atau sesat. Anda faham!”
X menjawab: “Emangnya apa sanjungan Allah dan Rasul-Nya?”
Saya menjawab: “Lho…!! Tidakkah pernah saudara dengar sebuah hadist shahih yang artinya, ‘Tidaklah sekelompok orang yang duduk sambil berzikir kepada Allah kecuali para malaikat akan mengelilinginya, rahmat kasih sayang Allah akan meliputinya, ketenangan akan diturunkan kepadanya dan Allah akan menyebut-nyebut mereka dihadapan makhluk yang ada disisiNya”. (HR Ahmad, Muslim, al-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi dari Abi Hurairah dan Abi Sa’id al- Khudri). Dalam hadist ini atau hadist lain tidak pernah ada larangan, kecuali ditempat-tempat kotor seperti di WC dan semacamnya.”
Mendengar penjelasan saya, X terdiam. Kemudian ia angkat bicara: “Bagaimana masalah Talqin? Bukankah itu Bid’ah?”
Saya menjawab: “Begini saja supaya jelas. Lalu saya berdiri dan mengambil spidol dan menuliskan di Whiteboard, “TALQIN MAYIT BUKAN BID’AH TAPI KHILAFIAH” dan saya tanda tangani. Lalu saya suruh ia untuk menuliskan kalimat tandingan dari pernyataan saya.
Lalu iapun menuliskan “TALQIN MAYIT ADALAH BIDAH” dan ditanda tanganinya.
Lalu saya bertanya : “Kalau Talqin mayit adalah bid’ah berarti pelakunya diancam siksa?”
X menjawab: “Ya.”
Saya bertanya: ‘Yang mengatakan bahwa talqin mayit itu bid’ah, siapa?”
Dengan semangat, X yang masih anak muda itu mengatakan: “Syaikhul Islam Ibn Taimiyah.”
Mendengar jawaban itu, saya pun mengambil kitab Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah. Lalu saya berkata: “Ini kitab Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah.” Sambil menunjukkan kepada hadirin semua, halaman 242 jilid 1, yang isinya adalah:
“Talqin yang tersebut ini (talqin setelah mayit dikuburkan) telah diriwayatkan dari segolongan sahabat bahwa mereka memerintahkannya seperti Abi Umamah al-Bahili sertu beberapa sahabat lainnya, oleh karena ini al-lmam Ahmad bin Hanbal dan para ulama yang lain mengatakan bahwa sesungguhnya talqin mayit ini tidak apa-apa untuk diamalkan…” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 1 hal. 242).
Nah, Ibn Taimiyah tidak mengatakan bahwa talqin itu bid’ah, malah menyatakan ada dalilnya bahwa talqin itu dilakukan oleh sebagian Sahabat. Yang jelas ini masalah Khilafiah bukan masalah bid’ah!!!”
Mendengar penjelasan saya, X pun terdiam. Tidak lama kemudian, ia pamitan pulang.“
Demikian kisah dialog publik antara Ustady Syafi’i Umar Lubis dari Medan Sumatera Utara dengan pemuda Wahabi.